Sunday, November 12, 2017

Kumpulan Puisi XXVIII

Kumpulan Puisi XXVIII

Tak Tergenggam
Sudah berulang kali tangan ini menggenggamnya
Tapi selalu saja terlepas begitu saja
Setiap kali tangan coba erat mencengkramnya
Ia pun memilih jatuh lagi dengan suara dentingan yang lembut
Ada hasrat yang amat kuat untuk bisa membawanya pulang
Ingin dipajang agar selalu bisa memandanginya
Sambil menyunggingkan senyum yang rapuh
Dan sepertinya ia tak hendak bersama genggaman tangan ini
Memilih diam disitu dengan gaya membatu.


Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Kicauan Burung
Pagi masih buta yang diselimuti sisa malam
Sudah terdengar kicauan burung dari balik ranting pohon
Bersahutan yang entah apa dipercakapan mereka
Tiada satupun yang hendak mengalah agar diam
Walau suara ayam menimpali sekalipun burung itu masih saja berkicau
Mungkin saja anaknya hilang atau sangkarnya rusak
Tapi kicauannya itu sudah mengganggu tidur yang masih dihimpit rasa nyenyak.


Beranda Sanggar Pelangi, 2016.


Terabaikan
Dalam kerumunan orang yang lalu lalang
Sibuk menunduk melihat tarian kata dalam gadget digenggamnya
Ada seorang peminta yang berjalan sambil membungkuk
Dan berkata: “Bagi sedekahnya”
Tapi tiada satu daun telinga pun yang membukakan pintu ucapan itu masuk
Diucapkan peminta itu sampai sore diam membisu
Tetap plasik kresek untuk menambung recehan tanpa bunyi
Seperti ia sedang berada di tengah-tengah kuburan
Ramai tapi tak satu makam pun sedia bangkit menjumpainya.


Beranda Sanggar Pelangi, 2016


Dibawa Hanyut
Deras deru suara pedih keluar dari mulut yang sengsara
Berteduh dalam peratapan duka yang dihujani dengan rasa luka
Bergema bibirnya tak satupun ucapan ada yang keluar
Dengan mimik yang juga tak memiliki setetespun air mata
Meringkuk dalam gelap menuggu banjir kesunyian segera membawanya
Hanyut dalam hidup yang hampa dari makna.


Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Suara Siapa Itu?
Mencari dalam mata yang diselumti gelap
Cahaya jalan tiada lagi mampu menuntun jalan
Berjalan berangkak dengan tangan mengecap dinginnya tanah
Tapi ada yang bersuara sayup seperti berbisik
Lebar-lebar daun telinga membuka pintu agar suara itu terdengar
Sebagai pemandu untuk melewati lorong gulita ini
Sambil guratan hatipun ikut bertanya pada suara yang menuntun
Suara Siapa itu?
Terucap dari bibir yang lama dikatub amarah.


Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Tersenyumlah
Getirnya hidup ini telah memenjarakan kebahagiannya
Hari-hari yang dilewati hanya disapa dinginnya raut wajah
Seperti orang yang lupa dengan caranya tersenyum
Hilangnya senyuman yang dulu selalu terpancar dari sosoknya
Raib bersama mendung awan hitam di langit yang tak tergapai
Hingga membuat dirinya seakan tersiksa
Setiap kali melewati detik-detik hdupnya
Tolonglah, tersenyum lagi.


Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Pelukan Mu
Pelukan mu mendamaikan hati yang gelisah
Yang tak mengerti hendak mengarah kemana
Kalut dan amarah menjadi raja di jiwa ini
Dan keputusasaan memberikan wejangan menyedihkan
Engkau ada tanpa rasa sedikitpun takut
Ceria dengan sapaan tangan yang langsung
Mendekap diri ini dalam pelukan mu
Yang telah dirindukan.


Beranda Sanggar Pelangi, 2016.
Kumpulan Puisi XXVII

Kumpulan Puisi XXVII

Sinabung Tak Pernah Tidur
Sinabung sepertinya tak pernah ingin tidur
Kembali ia bersua mengeluarkan asap berdebu keberbagai penjuru
Sampai kepemukiman warga yang telah lama mengungsi
Membuat rasa takut semakin menyeruak tak ingin pergi
Orang-orang yang dikitari oleh Sinabung yang masih bernyanyi
Hanya ingin meminta agar sebentar saja Sinabung dapat tertidur.


Beranda Sanggar Pelangi, 2015.


Kebakaran Hutan
Sudah berapa banyak hutan yang telah hangus terbakar
Mungkin tak bisa lagi dihitung dengan jari yang ada di tangan
Hutan yang dikunyah oleh api yang memberangusnya
Hidupkan ketakutan pada binatang yang harus mengungsi menjauh
Dan juga menjangkiti penyakit sesak pada manusia yang bernafas
Karena udara bersih tak lagi bisa dicari ikut berbaur bersama asap yang memeluknya.


Beranda Sanggar Pelangi, 2015.


Ujian pada Rakyat
Tidak hanya para pemimpin yang dapat ujian dari Tuhan
Untuk mengurusi rakyatnya agar tak sampai lapar dan bisa sejahtera
Dan juga agar pemimpin dapat amanah dalam memikul beban dipundaknya
Tapi pada rakyat pun sepertinya Tuhan ingin juga menguji
Menguji atas pemimpin yang telah dipilih yang melenceng dari fitrah janji
Yang membuat rakyat itu sengsara tak bisa merasakan nikmat apa-apa
Kecuali hanya lapar dan tidur beralaskan tikar yang berlobang
Sehingga ujian manis tersebut akan memberi pelajaran pada rakyat
Untuk lebih arif dalam menitipkan harapannya pada calon pemimpinnya.


Beranda Sanggar Pelangi, 2015.


Sampah di Mana-mana
Tak juga terlihat kota-kota ini tampak indah nan asri
Yang karena disesaki oleh sampah bergumal di mana-mana
Tak juga ada yang terpikir untuk mengutipnya agar bersih
Dibiarkan begitu saja hingga berpikir dengan sendirinya sampah itu hilang
Dan membuat sampah itu menghambat apa saja yang ingin lewat
Termasuk air yang hanya pamit ingin mengalir ikut terhalau
Hingga menjadikan kota-kota itu sering ditumpahi banjir yang sulit untuk surut.


Beranda Sanggar Pelangi, 2015.


Tak Pernah Redup
Lilin yang sudah mulai habis termakan gelap
Kini sinarnya pun ikut terkikis dan lenyap dalam sayu
Dan yang diteranginya ketika ia menyala harus kembali melihat pekatnya gelap
Tapi tidak bagi yang melindungi orang tersayangnya dengan senyum tulus
Mendekap dalam usaha yang tak pernah surut dan redup termakan waktu
Hingga yang dilindungi begitu terjaga dalam terangnya kebahagiaan
Sampai malam lupa berganti yang melindungi tetap terang selamanya.


Beranda Sanggar Pelangi, 2015.


Daging Sapi Mahal
Sejak kapan daging sapi itu terbilang murah harganya
Mungkin hanya saat hari raya Idul Adha daging dibilang murah
Semua orang dapat memakannya entah siapapun ia
Tapi diluar itu tiada lagi daging sapi murah harganya
Terus melejit tinggi hingga seperti pajangan mewah di toko berkelas
Seperti terpatri bagi yang tidak punya uang untuk bisa mencicipinya.


Beranda Sanggar Pelangi, 2015.


Dengan Rindu
Dengan katayang dirangkai dari kegundahan yang menggelegak
Terus mengasah tangan merangkai kata sampai tak tahu malam sudah larut
Kata yang dirangkai untuk bisa dibaca dengan hati yang bisa damai
Damai untuk tidak lagi khawatir akan nasib yang menulis untaian kata itu
Dalam kata yang ditulis itu berisi harapan untuk bisa berjumpa lagi
Yang memberikan kabar bahagia demi menghibur rindu.


Beranda Sanggar Pelangi, 2015.


Entah Siapa
Entah siapa yang merdeka di bumi pertiwi ini?
Entah orang miskin entah juga itu orang-orang kaya
Entah juga siapa yang menghirup aroma kemerdekaan?
Entah orang yang selalu tertindas entah pula orang yang biasa menindas
Dan entah pada siapa merdeka itu bisa berkumandang?
Entah pada semua orang atau hanya milik satu dua orang saja
Lalu, entah lah.


Beranda Sanggar Pelangi, 2015.
Kumpulan Puisi XXVI

Kumpulan Puisi XXVI

Sepenggal Kata
Tak mudah untuk mengurai kata yang sepenggal ini
Dalam maknanya seperti menyelamani laut yang penuh kata
Mencerna tiap huruf dari kata itu membuat malam begitu cepat berubah
Menjadikan siapapun yang membacanya tidak mengerti maksud sebenarnya
Dari kata yang sepenggal itu berada di ujung kalimat.


Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Gelap Sejenak
Pagi yang seperti biasa disinari oleh cahaya matahari
Menarik tirai malam yang penuh dengan warna gelap yang kuat
Tapi pada pagi kali ini langit tampak tak biasa menunjukkan sikapnya
Hanya sedikit saja tirai gelap itu mampu disibak oleh yang bercahaya
Membuat kilau-kilau warna terang keemasan terlihat luntur ditutup tirai yang gelap
Walau hanya sejenak saja.


Beranda Sanggar Pelanggi, 2016. 


Malangnya
Mengungkap sebuah kisah yang bisa menguras air mata
Dari seorang manusia yang hidup penuh dengan kemalangan
Dalam maksudnya berbuat agar bisa menolong yang lain
Tanggap menghinggap disambut pula dengan ucapan yang menyayat hati
Hatinya yang begitu kuat dengan ragam cacian dan hinaan
Menjadikan ia begitu tabah dan terus berbuat tanpa meminta dianggap ada
Saat sosoknya telah hilang ditelan bersama waktu
Barulah tersadar kalau ia begitu punya arti pada sekitarnya
Sehingga tampaklah ia seperti manusia yang malang.


Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Mampet
Mampet mengisi setiap lembar kehidupan yang dilalui oleh siapa saja
Yang menggambarkan begitu banyak sendatan yang menghalangi lancarnya urusan
Dalam setiap langkah dan maksud yang dimiliki kata mampet hinggap tak pernah pergi
Seperti dijalan penuh dengan kendaraan yang tak pernah mau bergerak
Begitu juga sungai dan parit-parit pun ikut mampet dihalangi oleh sampah bergelantungan
Hingga sampai hidungpun dapat mampet kalau sakit datang mendera.


Beranda Sanggar Pelangi, 2016.


Setangkai Mawar
Ada setangkai mawar merah yang terjatuh
Yang empunya telah hilang lupa tentang nya
Kasihan mawar yang setangkai itu sendirian saja
Tersentak hati membawanya pulang
Meletakkannya pada sebuah vas kaca yang berisi air
Agar merah warnanya tidak layu tersengat panas
Dan menghiburkan dari luka lara tertinggal sendiri
Dalam meminta setangkai mawar itu bisa berbagi sukanya.


Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Jalan Rusak
Sakit perut ini terombang ambing di jalan
Yang dipenuhi lubang sepanjang mata memandang
Jalan yang hancur diinjak truk yang membawa beton
Berat yang berton-ton itu melintas setiap hari
Peduli apa truk yang lewat itu pada jalan
Sampai akhirnya sebelan bannya ditelan habis
Oleh jalan yang lama merintih sakit.


Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Berbalut Debu
Tak usah bicara makan tiga kali sehari
Kalau tidur pun selalu beralaskan kardus bekas selimut elektronik
Yang terbaring menggigil di depan toko-toko
Sembari berharap pada Tuhan agar hujan jangan turun dulu
Melihat jasad ini pun dengan busana yang mewah
Dengan balutan debu yang disulam selama siang berlalu-lalang kendaraan.


Beranda Sanggar Pelangi, 2016.

Friday, November 10, 2017

Kumpulan Puisi XXV

Kumpulan Puisi XXV

Segalanya Jadi Panas
Basah sudah baju ini karena keringat yang bercucuran
Seperti tak ingin berhenti mengalir dengan hawa yang menguap
Disebabkan panas yang amat luar biasa menyengat
Yang tidak hanya badan saja dibuatnya sampai mencurahkan keringat
Tapi alam pun ikut layu bersama dengan air yang mengering
Diikuti pula oleh pikiran yang tidak lagi mudah untuk berbicara
Hanya dibalut rasa marah dengan ingin bermusuhan pada siapa saja.


Beranda Sanggar Pelangi, 2016.


Diufuk Barat
Terjaga diri ini saat matahari melipat malam dan menggantinya jadi pagi
Disambut riang oleh riuh suara ayam jantan yang terjaga pertama
Bersama dengan itu lapang pikiran dinuansakan pada senyum yang tak putus
Untuk menyambut pagi dikala fajar itu bernyanyi diufuk timur
Hingga siapapun tak ingin melewatkannya dengan sibuk untuk berkreativitas
Agar tidak ada yang jenuh apalagi sampai merenung kesepian
Sampai nafas lega terhembus kala sang fajar itu menyudahi nyanyi yang merdu
Ketika ia tersenyum pada sesiapa pun yang menikmati harinya
Sebelum ditutup oleh tirai pertunjukan diufuk barat berwarna kuning terang.


Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Malangnya Anak-Anak Itu
Jalan yang entah kapan sunyinya
Begitu ramai diisi oleh mesin berjalan dan yang berlalu lalang
Disisipi oleh tawa-tawa mungil yang saling berlarian di jalan itu
Mereka itu adalah anak-anak yang menjajakan apa saja kepada siapa saja di jalan
Dengan wajah lusuh yang penuh debu dan baju yang serba longgar
Tanpa peduli lagi pada rasa aman yang sudah hampir lepas dari raganya
Untuk mengutip tiap keping uang receh dari yang kasian melihat mereka
Hanya untuk biar besok masih ada yang bisa disantap sebagai pengganjal perut
Karena sudah tidak ada lagi yang sanggup menghidupi anak-anak itu
Dari dunia yang teramat keras sekali bagi mereka.


Beranda Sanggar Pelangi, 2016.


Sembako Murah
Rakyat-rakyat yang hidup dalam kemelaratan
Dihimpit dalam gundahnya untuk membeli sembako yang kian mahal
Sembako itu dibutuhkan untuk menyenyakkan bayi dan anak-anak yang tersentak dari laparnya.
Telah banyak yang diperbuat untuk membelinya dengan kerja yang memeras darahnya
Tapi tak jua cukup untuk membeli sembako itu
Karena harganya yang mahal membuat mereka tak sanggup membeli semuanya.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015. 


Setetes Air
Air yang tumpah ruah di tanah pertiwi ini
Seakan menunjukkan betapa suburnya negeri ini untuk menghidupi kami semua
Saat dipikir tentang air yang melimpah mungkin tak ada yang mati kehausan
Atau juga luntang-lantang mencari air hingga ke bawah batu
Tapi nyatanya itu yang tak mungkin sekarang jadi mungkin terjadi
Tentang mahalnya sudah harga air bagi tanah pertiwi yang melimpah air
Entah siapa yang memonopoli atau tangan kami yang telah mencemari air itu
Dan sekarang setetes air sangat berarti untuk kami melanjutkan hidup.


Beranda Sanggar Pelangi, 2015.


Tangisan yang Tak Pernah Kering
Diucapkan satu patah kata dengan sendu yang terbata
Dari seorang manusia yang hatinya sedang pilu merana
Bukan karena dikhianati oleh kekasih atau sahabatnya
Tapi ia begitu kecewa pada yang dipilihnya untuk mengayominya
Kecewa karena ia telah lupa dengan janjinya dan membiarkan seorang manusia itu merana
Dan dalam sedihnya seorang manusia terus menangis memohon kepada Tuhan
Untuk membuka lagi hatinya yang ketika dulu begitu tulus
Demi agar ia tak jadi seorang manusia yang ingkar janji.


Beranda Sanggar Pelangi, 2015.

Wednesday, November 8, 2017

Kumpulan Puisi XXIV

Kumpulan Puisi XXIV

Rusaknya Alam
Alam kini tak lagi indah seperti saat dahulu kala
Ketika dihuni oleh hutan yang tak terkira jumlah dan satwa yang menari ria
Akan tetapi alam yang mulai diganggu oleh tangan jahil
Menumbuhkan tetesan api yang menghanguskan alam hingga tak tersisa
Juga dibubuhi oleh tebangan pohon dan pemburuan pada satwa
Menjadikan alam tampak tandus yang bertumbuhkan pasir gersang
Apalah daya alam yang tak bisa melawan apalagi harus menggugat
Sehingga yang berpikirlah dapat mengerti untuk membelanya
Agar kembali indah seperti sedia kala ia tumbuh.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Banjir dan Longsor
Ratusan rumah yang dihuni puluhan ribu orang habis terendam air
Air yang berubah menjadi banjir meluap dari sungai yang kandas oleh sampah.
Mewabah hingga menghancurkan rumah dan yang dilewatinya tanpa permisi
Sampai tanah pun tak lagi bisa menahan kuatnya air yang menerjang itu
Hingga membuat tanah itu hancur dan mengubur yang di bawahnya
Menjadikan nyawa-nyawa yang tidak mengerti pun ikut hanyut entah kemana
Karena disasar air banjir dan tanah yang longsor.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Menyambung Jembatan Rusak
Dalam kumpulan orang-orang yang jauh dari perkotaan
Saling terputus oleh sungai yang tampak seperti jurang tiada ujung
Menyulitkan menyeberang karena jembatan penyampung telah rusak
Rusak digerus zaman yang lupa untuk merawatnya agar abadi
Yang melewati jembatan rusak itu pun tertatih-tatih takut melihat dalamnya sungai
Dan akhirnya jembatan itu disampung dengan swadaya seadanya
Karena tidak ada yang peduli pada jembatan rusak dan usang itu.
Walaupun jembatan itu bisa menyambung pendidikan dan hidup bagi kumpulan orang-orang itu.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016.


Meratap Pilu
Dengan penuh kesedihan yang tak terkira sakitnya
Ia hanya mampu untuk meratap pada langit yang diwarnai hitam pekat
Melantunkan doa-doa yang hampir sebenarnya menyerupai sumpah
Meminta agar tak lagi ia dikhianati oleh janji-janji yang menjunjung langit
Dengan harapan yang didambakannya dipenuhi kebahagiaan
Melalui janji yang apa adanya disampaikan oleh hati yang tulus
Tanpa memiliki maksud untuk mengkhianati kepada yang menerima janji
Hingga tak perlu ada lagi yang meratap pilu berurai air mata.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Satwa yang Malang
Selalu diburu sampai rumahnya pun ikut dibakar
Betapa malangnya nasib satwa liar ini sekarang
Tak lagi ada gunanya julukan raja rimba ataupun hutan
Semuanya berlari ketakutan meninggalkan tempat hidupnya
Dari kejaran yang sedang mengokang senapan dan tombak
Untuk menangkapi satwa liar itu apapun jenisnya
Guna diperdagangkan mengeyangkan perut
Dengan nafsu yang membinasakan satwa liar.


Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Kelaparan
Gemetar kaki dan tangan
Tak lagi kuat menopang tubuh untuk tetap terus berjalan
Menyusuri tempat-tempat yang mungkin terdapat makanan
Untuk mengganjal perut yang hanya diisi angin
Tapi apalah daya tak jua ada yang bisa dikunyah
Walaupun hanya sekedar bau sedap saja
Supaya lapar ini tak sampai menyudahi hidup yang masih panjang
Mesti dijalani lagi.


Beranda Sanggar Pelangi, 2016.

Monday, November 6, 2017

Kumpulan Puisi XXIII

Kumpulan Puisi XXIII

Pegangan Pada Tali
Jembatan yang umurnya sudah lama sekali
Telah banyak dilalui oleh orang-orang yang butuh menyeberang
Kini jembatan itu telah tampak reot dimakan hujan dan panas yang menyengat
Perlahan-lahan pun kayu yang sebagai alas menjadi rapuh tak terlewati
Satu demi satu mulai berjatuhan telungkup ke dasar sungai yang ganas
Dan tali pegangan jembatan itupun mulai hilang seratnya
Hingga yang menyeberang begitu sangat ketakutan
Sampai tali yang tak kuat lagi itu dipegang erat sekali.


Beranda Sanggar Pelangi, 2015.


Mawar Berduri
Begitu merah warna pada bunga mawar yang sedang mekar
Hingga sesiapapun yang melihat begitu terpana ingin sekali bisa mencium dan memegangnya
Tapi tak semudah itu ia bisa disentuh oleh sembarang tangan yang menjamahnya
Karena ada duri-duri yang memagari agar mawar tak sampai terluka
Sehingga mawar akan tetap tampak mempesona mesti tak bisa memegangnya.


Beranda Sanggar Pelangi, 2015.


Sungai yang Tercemar
Teringat dulu di sungai itu ramai diisi oleh orang-orang
Yang ingin mandi, mencuci, atau hanya sekedar memancing
Melihat kejernihan air sungai yang mengalir dengan tenangnya
Sampai membuat keceriaan terus bersua hingga petang menyingsing
Dan saat sungai-sungai itu dialiri limbah serta sampah
Bau menyengat pun menyeruak dari dalam sungai
Menikam ikan-ikan yang mati dan kabur menjauh
Akhirnya orang-orang pun tak lagi ada yang mau mendatangi sungai.


Beranda Sanggar Pelangi, 2015.


Pekik Anak Itu
Pekik anak itu yang sudah lama menangis
Berada dalam keramaian orang-orang kesana kemari
Tapi tak ada yang benar-benar mendengar dengkuran suara tangisan itu
Sibuk dengan tujuannya sampai tuli dengan yang disekitarnya
Membuat anak malang itu memekik sejadi-jadinya
Tetap ia hanya sendiri saja di tengah yang kerumunan
Sedang pilu mencari ibu yang terlepas dari genggaman tangannya.


Beranda Sanggar Pelangi, 2016.


Mati Lebih Lama
Ada samar-samar suara membelah angin yang terlampau pagi
Saat matahari pun masih sedang bersiap untuk terbit
Kala bulan juga sudah mau berpamitan untuk merehatkan hatinya
Suara sayup itu menyusup di antara orang-orang mati
Hendak menghidupkan kembali mereka yang dsentil jemarinya
Agar bisa menikmati orang-orang merasakan damainya udara pagi
Yang tidak berdebu.


Beranda Sanggar Pelangi, 2016.
Kumpulan Puisi XXII

Kumpulan Puisi XXII

Pagi yang Mendung
Dengan menatap langit pagi yang didambakan
Tergambar sebelum mata terbuka untuk melihat langit itu
Dalam nyata langit telah menjadi kelabu hitam seperti ingin menangis
Dan membuat hati ikut juga terhanyut dalam buaian langit yang mendung
Ikut menjadi sedih dan masuk kembali ke dalam peraduan.


Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Ombak
Sengaja ombak itu ditantang oleh yang sudah lupa pada matinya
Untuk dapat mengayuh seluas mungkin laut yang diseberanginya
Agar dapat menemui ikan-ikan yang berpesta di bawah pusaran ombak
Supaya dapat dibawa lari menuju daratan yang tak berombak
Walaupun deru ombak itu menelan ia dan perahu yang ditumpanginya.


Beranda Sanggar Pelangi, 2016.  


Di Atas Gedung
Kaki ini sudah menjilat tingginya gedung yang menunjuk langit
Di atas gedung itu mata sudah tak mampu lagi melihat barisa semut yang berjalan
Dan tak mampu juga menembus batas langit yang masih terbentengi oleh awan
Dari atas gedung itu yang tampak adalah kaki yang menginjak ternyata jauh lebih tinggi dibanding gedungnya.


Beranda Sanggar Pelangi, 2016.  


Sirine Kelabu
Terdengar suara sirine yang dapat menembus batas keramaian
Keramaian yang bermuara di jalanan dan dipenuhi dengan kebisingan
Sirine itu lewat dengan pesan yang semua dapat mengerti
Hingga sesiapapun yang melihat dan mendengarnya membiarkan lewat agar suaranya lekas berlalu
Karena sirine itu berlalu dengan membawa orang-orang yang terkena musibah.


Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Pecahnya Perahu
Perahu yang tak begitu tampak besar
Hanya tinggal satu mengapung di ujung pelabuhan
Diinjak oleh orang-orang yang ingin meninggalkan daratan
Dengan berlari kencang seperti ketakutan
Riak air mata terus berurai disambut pekik tangisan
Orang-orang itu hanya bisa saling mendorong pada sesamanya
Hingga membuat perahu itu berubah menjadi sesak
Sampai di tengah laut perahu itu pun ikut menjerit kesakitan
Dan akhirnya pecah berantakan menghamburkan orang-orang ditelan laut.


Beranda Sanggar Pelangi, 2016.


Tersenyum dalam Lelah
Muka yang selalu dibedaki oleh debu jalanan
Bukan sengaja dibuat untuk melihat diri jadi elegan
Tapi berjibaku untuk mengais rejeki sedikit demi sedikit
Bekerja yang tak lagi melihat kapan matahari terbit dan tenggelam
Selalu dilakukan agar yang dicintai bisa hidup nyaman
Dan pulang dengan tersenyum lepas
Walau lelah sudah hampir menikam jantungnya.


Beranda Sanggar Pelangi, 2016.


Pada-Nya
Pada-Nya semuanya bersimpuh
Melepas semua titah yang menempel dibahu
Sambil berlutut diikuti mimik wajah yang hendak menangis
Lirih suara terdengar diucapkan dengan terbata-bata
Hanya mempasrahkan diri agar Ia mendengar semua doa-doa
Yang penuh dengan rasa harap pada-Nya.


Beranda Sanggar Pelangi, 2016.

Sunday, November 5, 2017

Kumpulan Puisi XXI

Kumpulan Puisi XXI

Mengatup Rasa Itu
Rasa yang sudah mengatup
Ibarat seperti tumbuhan putri malu
Tersentuh jemari dengan sapaan tidak disengaja
Ia sudah menutup rapat tiap-tiap pintunya
Tak ada satupun yang bisa dibuka
Walaupun sudah mengucapkan salam penuh santun
Entahlah, mungkin perasaannya sudah mulai dikatup.
Erat dan sangat rapat sampai angin pun tak boleh mampir.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Tak Melihatnya Lagi
Setiap malam yang binar dengan gemintang
Tiada lagi gelap yang menyelumti pandangan ini
Sosoknya pun begitu bercahaya terlihat dari jauh
Terangnya sinar yang mengitari tubuhnya
Membuat raga ini tak sanggup untuk mendekatinya
Dan hanya memandangnya dari kejauhan setiap malam

Tapi saat binar cahaya bintang itu mulai redup
Hilang perlahan cahaya terang yang disapu gelap
Kucar-kacir mata ini mencari jejaknya yang mulai tersamar
Diselumuti gelap malam yang mendekapnya begitu erat
Hingga akhirnya tak ada lagi tanda ia berada di sini
Menghilang entah raib kemana.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016.


Menanti Belas Kasihan
Hampir mengering tubuh yang kerempeng ini
Hanya dibalut kulit dengan raut wajah yang lesuh
Tersandar di sudut dinding yang dipanggang oleh ganasnya matahari
Tak satupun ada lagi yang mampu dikunyah
Entah itu nasi, daging, atau air yang dulu banyak dimana-mana
Dalam bersandar itu cuma mulut yang mampu bergumam
Berharap langit ikut terharu dan menumpahkan setitik air matanya
Agar tak sampai malaikat yang gemar menjemput maut itu
Sempat untuk mendatanginya yang tak lagi bisa menentang apa-apa.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016.


Lupa Pada Alam
Alam yang menyediakan semuanya
Semuanya yang manusia butuhkan untuk hidup
Tidak hanya sekedar hidup dengan terisinya perut
Rias wajah dan gaun yang tersemat di tubuhpun berasal dari alam
Walau alam ada untuk manusia yang disayanginya
Entah kenapa tidak begitu pula manusia yang memperlakukan alam
Sesekali alam tampak menjerit kesakitan yang tak bisa diungkapkannya
Dengan mengumpakan alam hanya sebagai sapi perahan
Yang lupa untuk diperhatikan.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016.


Mengingat pada Rindu
Dengan kata apa lagi yang ingin diucapkan
Tak satupun ada kata yang cocok untuk menggambarkan yang ada di hati
Tentang perasaan yang membuat semuanya jadi satu
Berbaur pada senyum yang sangat ingin bertemu
Dengan juga ada warna sedih tentang kabar yang ada di sana
Menanti dalam waktu yang semoga dapat mendekatkan
Agar tak lagi diri ini ingat pada rindu.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015. 


Gerimis
Pekatnya abu yang bertebaran di kota ini
Yang berserakan bersama dengan jalan yang dipenuhi oleh rasa sesak
Dari kendaraan dan orang-orang yang lalu lalang tanpa henti
Menanti abu ini dapat segera terurai dan hancur
Sembari melihat langit yang tampak agak menghitam
Sambil berharap agar hitamnya langit itu pertanda gerimis akan turun
Biar abu-abu ini tidak lagi bergentayangan yang membuat sesak dada saja.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015. 


Tandus
Tandus yang mengubah basah menjadi kering dan berpasir
Hingga tak secuilpun dapat dimakan ataupun dibawa untuk diminum
Umpama tandus itu merasuk dengan kelangkaan yang ada di negeri ini
Langka dengan airnya walau hujan datang
Sulit dicari makanan yang murah lagi
Dan langka dengan janji untuk tak lagi menipu yang berharap
Hingga yang terpinggirkan semakin lama dalam mencari
Mencari oase yang isinya adalah dapat meredam lapar dan haus.
Yang itu juga entah dimana tempatnya
Mungkin bisa saja telah lenyap berubah jadi pasir yang tandus.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015. 


Kerlap-kerlip
Ramai sekali cahaya di malam akhir tahun
Berisi dengan dentingan petasan dan suara terompet
Mengaung-ngaung seperti mengajak malam agar cepat dapat berganti
Berganti di tahun yang baru dengan harapan yang digantungkan tinggi-tinggi
Pada suasana malam yang kerlap-kerlip.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015.
Kumpulan Puisi XX (20)

Kumpulan Puisi XX (20)

Menanti Pagi
Mata tak bisa menutup rapat
Kala malam sudat teramat larut dengan tanpa apapun yang ada dilangit
Disuguhi dengan hujan yang menari rapi sampai menderukan suara
Membuat tubuh sangat menggigil dimakan dingin yang tak terperi lagi
Sambil duduk beralaskan kardus yang dikutip dari tempat sampah
Duduk dengan memeluk diri sendiri mengunggu hujan ini reda
Dan meminta agar pagi bisa segera kembali lagi.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Cabai Busuk
Sudah begitu memperihatinkankah kondisi ekonomi rakyat kita
Saat cabai yang merah merona tak lagi bisa terbeli
Dengan pundi-pundi rupiah yang dikumpulkan dari sana sini
Harga yang melangit mmbuat pedasnya cabai menusuk hulu hati
Tak lagi bisa lidah ini mampu mengecapkan pedasnya dengan benar
Akhirnya cabai yang sudah menghitam pun diburu
Hanya sekedar agar pedasnya cabai itu tak hilang
Dari kebiasaan lidah yang mencintainya.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Gerimis
Dari jendela kaca ini bisa dipandang
Langit yang keruh dengan awan hitam mengelilinginya
Disertai rintik hujan yang tak begitu deras menyapa jendela
Dengan sapaan biasa tanpa senyum atau tawa
Membuat gelapnya daratan seperti sangat hampa
Entahlah, setidaknya berharap saja pada matahari
Agar segera muncul kembali memancarkan sinarnya
Sehingga gerimis itu berganti dengan pelangi.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016.


Menanti Senja
Saat matahari hendak tidur dari akttvitas panjangnya
Disitulah banyak yang mengantarkannya tidur
Menemaninya dengan berdiri di tepian dermaga yang berair asin
Sambil memandang luasnya air yang menutupi daratan
Demi agar senja segera hadir memancarkan sinar orange
Yang hanya tampak sekejap saja
Sebelum wujudnya hilang ditelan malam yang gulita.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Batas Kata
Cukuplah sudah perdebatan panjang ini
Ada puluhan ribu kata telah diucapkan tanpa arah yang jelas
Tanpa memberikan satu kesimpulan dalam kesepakatan
Mungkin rehatlah waktu yang ada sekarang
Untuk memilah kata yang tepat
Menemukan satu kepastian untuk yang sedang dibicarakan.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Angin Yang Berhembus
Angin berhembus menepuk pundak yang tegang
Sengaja dalam sapaannya itu ingin menenangkan kalut di hati
Yang dikeringkannya pula keringat mengucur deras dari pundak
Agar tubuh tidak berubah jadi patung yang tak mampu mengucap apapun
Supaya mulut ini sedikit berani berkata sepatah saja
Dalam obrolan yang dialami oleh dua pasang manusia
Yang sama-sama mati akan katanya.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016.

Saturday, November 4, 2017

Kumpulan Puisi XIX

Kumpulan Puisi XIX

Menanti Hujan
Riak suara hujan ramai membanjiri tanah-tanah yang sudah lama kering
Tapi tanah itu bukanlah sekarang sedang kami pijak
Tidak setetes pun air ada yang hendak turun dari singgasana langit
Yang sedang dinanti ribuan orang dengan melihat sungai dan sumur perlahan kering
Sebab air yang sangat ingin kami tampung itu
Bukan hanya digunakan untuk melepas dahaga kami
Tapi mampu menyambung nyawa ternak dan tanaman
Yang sedang menggigil kehausan.

Beranda Sanggar Pelangi, 2017. 


Bunga Mawar
Bunga mawar yang indahnya tiada tara
Mekar dalam satu tangkai dengan warna yang teramat cerah
Tangkainya yang berpagarkan duri-duri kecil
Sering tak terlihat kala siapapun hendak menggenggamnya
Tanpa sadar rasa sakit menusuk jari-jari yang tidak dulu berpikir
Tapi untunglah . . .
Tangkai mawar itu tak sampai patah.

Beranda Sanggar Pelangi, 2017.


Menanti Hujan 
Tak lagi ada rintikan hujan turun membahasi tanah ini
Yang sudah sangat haus hingga tampak retak-retak
Apa yang berdiri di atas tanah kering itu mulai goyah
Sulit untuk berdiri tegak dan hanya bersandar pada dinding rapuh
Hingga dengan satu dua kalimat terucap sambil terbata-bata
Meminta agar langit bisa ikut terharu melihat tanah yang haus
Lalu menangis agar tanah itu tidak sampai mati meradang.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016.


Melepas Senyum
Sudah cukup jarang wajah yang ceria itu tersenyum lagi
Seperti saat dulu setiap dentingan waktu terlewati dengan tawa
Tak pernah dijumpai sedih sampai melinangkan air mata
Tapi kini wajah bahagia itu berubah menjadi murung
Ketika hatinya mendapat kabar yang membuatnya gundah gulana
Dan hari-hari yang dilaluinya pun kini hanya berisikan rasa putus asa
Mungkin dengan menghidupkan cahaya keceriaan yang hampir redup di hatinya
Yang bersedih itu bisa dapat kembali melepaskan senyumnya.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016.


Menanti Pagi
Mata tak bisa menutup rapat
Kala malam sudat teramat larut dengan tanpa apapun yang ada dilangit
Disuguhi dengan hujan yang menari rapi sampai menderukan suara
Membuat tubuh sangat menggigil dimakan dingin yang tak terperi lagi
Sambil duduk beralaskan kardus yang dikutip dari tempat sampah
Duduk dengan memeluk diri sendiri mengunggu hujan ini reda
Dan meminta agar pagi bisa segera kembali lagi.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Cabai Busuk
Sudah begitu memperihatinkankah kondisi ekonomi rakyat kita
Saat cabai yang merah merona tak lagi bisa terbeli
Dengan pundi-pundi rupiah yang dikumpulkan dari sana sini
Harga yang melangit mmbuat pedasnya cabai menusuk hulu hati
Tak lagi bisa lidah ini mampu mengecapkan pedasnya dengan benar
Akhirnya cabai yang sudah menghitam pun diburu
Hanya sekedar agar pedasnya cabai itu tak hilang
Dari kebiasaan lidah yang mencintainya.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Gerimis
Dari jendela kaca ini bisa dipandang
Langit yang keruh dengan awan hitam mengelilinginya
Disertai rintik hujan yang tak begitu deras menyapa jendela
Dengan sapaan biasa tanpa senyum atau tawa
Membuat gelapnya daratan seperti sangat hampa
Entahlah, setidaknya berharap saja pada matahari
Agar segera muncul kembali memancarkan sinarnya
Sehingga gerimis itu berganti dengan pelangi.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016.
Kumpulan Puisi XVIII

Kumpulan Puisi XVIII

Melamun
Agaknya negeri ini sedang dilanda keriuhan
Seperti terpaan angin yang mengamburkan apa yang dijamahnya
Yang saat ketika nafsu memundaki kepala yang tertawa bahagia
Lupa dengan seribu kata yang dahulu bisa menidurkan kebingungan
Hingga sewaktu masa yang dijalani telah perlahan berlalu
Beribu rimah harta yang bisa ditumpuk seperti gunung emas
Sampai yang jelata-jelata tetap hanya bisa memandang dalam bingungnya
Dengan semua lamunannya yang masih mengiangi telinganya.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015  


Daun yang Gugur
Pohon yang sudah teramat tua
Hidup mengabdi meneduhkan bagi yang menyandarinya
Tiada pernah pamrih yang dimintanya dari perbuatan tulusnya
Hingga membuatnya terus didatangi oleh makhluk-makhluk yang kelelahan
Sampai pada suatu masa daunnya sudah mulai gugur satu demi satu
Membuat rasa sedih dalam kalbunya yang mengisyaratkan dengan kata
: “sampai disini aku bisa mengabdi”.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015  


Serba Palsu
Tulus sudah begitu langka terdengar saat ini di mana pun
Semuanya sudah berubah menjadi tabu dan dibumbui kepentingan
Hingga bermetafora menjadi kebohongan yang semu
Palsu sebutlah demikian tidak hanya menghengkam warna politik
Tapi sudah masuk menjalar keberbagai sendi hidup rakyat
Dengan kesan harga murah dan kualitas seadanya
Dan kepalsuan itu kini telah ada dalam suapan nasi masyarakat.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015.


Rasa Rindu
Hujan yang deras turun ikut menghipnotis kalbu
Turut membahasi jiwa yang sedang bimbang
Yang butuh kata-kata untuk memompa jantung kembali berdetak
Dalam denyutan akan teringat buayan kasih sayang yang sendu
Dari tangan-tangan yang berwajah riang kala bertemu
Dan dalam kesendirian ini rindu itu bersemai bersama hujan yang turun.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015.


Menampung Janji
Janji terucap dari yang sedang punya kepentingan
Yang mengucapkan jutaan kata penuh dengan kebahagiaan
Mampu memantik suara tepuk tangan riuh dari yang mendengarkan
Disampaikan dengan nada yang berani menantang bisingnya suara kendaraan
Tak habis-habis nya janji itu diucapkan
Sampai yang mendengarkan diminta untuk menampungnya
Hingga bingung harus meletakkannya dimana lagi.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016.


Diam Sendiri
Banyak sekali suara yang terdengar
Seperti bunyi sayap lebah yang sedang mengerubungi sarangnya
Bising tak terkira lagi sampai telingapun tak mengerti membacanya
Begitu terus tanpa peduli dengan yang disekitarnya
Hingga yang tak tahan pergi menjauh dari bisingnya suara itu
Menyendiri sejenak sambil terdiam memandang mereka semua
Yang bising itu.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Galian Parit
Banjir sudah seperti tamu yang selalu diundang
Kala hujan datang dengan lebat yang mengguyur kota ini
Melenyapkan rupa parit yang menyatu dengan hitamnya jalan
Kini melihat banjir seperti tamu yang tak tahu diri
Ingin mengusirnya pergi dengan menggali parit
Dengan mengajaknya hilang ke dalaman parit
Dan membawa jauh sepanjang parit itu ada.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016.
Kumpulan Puisi XVII

Kumpulan Puisi XVII

Macet
Suara bising selalu menghiasi jalan raya
Disesaki kendaraan yang tak bisa bergerak leluasa
Terjebak di antara deru suara mesin dan klakson
Ada pula yang menimpali dengan nada tinggi dan kasar
Karena sudah tidak tahan lagi pada sengatan panas dan dinginnya hujan
Yang mencubit kulit pengendara terperangkap macet di jalan raya.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016.


Sulit
Diusahakan segala cara untuk mencapai itu
Dengan menghabiskan jatah keringat di dalam kulit ini
Kerja keras adalah santapan makan yang dianggap penuh gizi
Agar yang diangankan itu tercapai
Tapi semua usaha itu agaknya berkata lain
Meminta pada jiwa untuk selalu tegar menghalau buruknya nasib
Demi menanti bahagia yang hanya dimiliki dalam kegigihan.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016.


Rindu
Menggigil terkadang tubuh ini
Padahal tidak sekalipun hujan ada yang menyentuh kulit kasar ini
Tapi setiap malam yang diheningkan pada kesunyian
Membuat perasaan teramat dingin memeluk jiwa ini
Hingga badan pun tak kuat menanggungnya
Betapa hebatnya perasaan yang berkecamuk ini
Mungkin ini adalah rindu.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016.  


Manis Janji
Kalah sudah manisnya gula yang dikerubungi oleh si pemuja semut hitam
Dikata oleh mereka yang tertikam hulu hatinya
Sebab sejuta janji telah mendongengkan mimpi malam mereka
Dalam alunan nada romantis dengan berangkai berita baik
Untuk perbaikan hidup dihari esok
Saat janji yang melayang ditarik satu per satu
Tiada satu pun memberi asa seperti dimasa lampau
Hingga mereka berujar manis janji yang memilukan.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015


Sialnya si Tikus
Ketika koruptor begitu menjamur di negeri ini
Banyak yang menyangkakan ia sama seperti tikus
Yang suka hidup di dalam got penuh dengan kumpulan sampah
Dan berperilaku gemar mencuri apa saja untuk dikunyahnya
Tidak salah menyamakan sesuatu kepada yang lain
Tapi betapa sialnya bagi si tikus yang harus disebut koruptor
Padahal koruptor lebih kejam prilakunya dibanding tikus
Yang cuma suka memakan sabun dan pakaian bekas.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015  


Kicauan Burung
Penyegar dipagi hari yang cerah
Dengan merdunya alunan merdu suara burung yang berkicau
Dibalik rindangnya pohon dengan suara bersahut-sahutan
Bak pemantik semangat untuk membiarkan wajah tetap tersenyum
Saat akan menjalani riuhnya jalan-jalan yang berdebu.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015


Rakyat Berduka
Wajah berbinar duka sedang merundung rakyat negeri ini
Betapa tidak!
Yang diharapkan dalam tiap tangisan rakyat untuk mengubur kejahatan
Kini sedang bersiteru dan melemahkan satu sama lain
Tak ada yang mengerti apa sebabnya itu terjadi
Tapi para penjahat sedang bersuka ria di atas penderitaan rakyat yang butuh keadilan.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015.

Friday, November 3, 2017

Kumpulan Puisi XVI

Kumpulan Puisi XVI

Maaf
Maaf. Terucap dari dalam lubuk hati
Menghantarkan jamuan keteduhan jiwa yang mudah merendah
Tidak sampai bersombong-sombong ria
Cukup ulurkan tangan dan menyampaikan kekhilafan diri
Hingga tali persaudaraan tersambung kembali.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015.


Dari Kursi Empuk
Dari kursi yang berbalut kapas yang lembut
Membuat ketenangan dalam rajutan kain sutera
Ditopang dengan sulaman gambar kemegahan yang kakukan mata
Sampai badan dan jiwa ikut membatu berdiam dalam kursi itu
Karena kursi itu terasa begitu empuk
Baiknya diganti saja dengan kursi yang beralaskan papan reot.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015.


Bergejolak
Dalam ketenangan yang sudah damaikan hati
Tiap-tiap orang hidup dalam canda dan tawa setiap harinya
Tidak ada luka dan hanya terciprat kebahagian
Hingga saatnya itu seakan sirna karena ada yang bergejolak
Seperti ingin muntah yang mengeluarkan ketakutan membuat badan terus menggigil
Sampai gejolak itu sudah agak meredup kaki bergetar tak pernah mau diam.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015.


Ramadhan 
Bulan suci ramadhan dalam pelukan hati
Syukur pun menengadah untuk menyambutnya dalam rindu
Ramadhan yang mengajarkan tentang kesabaran pada umat manusia
Untuk menguatkan hati menjalani puasa dalam lapar dan haus dahaga
Demi membina hati menjadi insan dibalut kedewasaan iman yang tulus.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015.  


Macet di Kota Besar
Hal biasa melihat kota besar digeliati dengan kemacetan
Melihat jalan raya yang tumpat oleh ragam jenis kendaraan
Menjalar dari segala sisi yang tak membiarkan siapapun untuk lewat
Kendaraan-kendaraan yang hanya bisa membunyikan kleksonnya sekeras petir menyambar
Memiliki niatan agar macet itu cepat merayap pergi
Tapi agaknya itu sangat mustahil
Bila egois yang menjadi pengendali dari kendaraan yang melaju itu.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Kemana Perginya Engkau?
Kemana perginya engkau?
Yang tiba-tiba pergi tanp mengucapkan kata apapun
Kemana harus mencari mu?
Sudah ribuan meter kaki menapaki jalan agar bisa menemukan mu
Selama engkau hilang dari pandangan
Rindu mulai mencambuk ingin membuat diri ini rasanya mati
Pulanglah, tak usah pergi lagi.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016.
Kumpulan Puisi XV

Kumpulan Puisi XV

Kebakaran Hutan
Negeri yang dianugerahi hutan melimpah
Katanya subur akan udara bersih untuk dinikmati siapapun
Menyehatkan dan menyejukkan dada yang menghirupnya
Tapi apalah daya itu hanya fatamorgana dari ilusi mimpi
Melihat hutan yang melimpah ruah itu hilang ditebang api
Berubah menjadi asap kentara tebal yang terbang kepenjuru negeri
Asap yang tebal itu hanya bisa mendatangkan penyakit
Pada mata yang menjadi perih dan dada seperti hendak hancur.


Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Mendung
Pada awan yang tampak mendung
Terlihat raut wajah sedih terpancar dari ketakutan
Oleh yang tiada lagi berpikir mendungnya awan itu pertanda membawa berkah
Semakin hitamnya awan itu mengumpul seperti hendak hujan
Terjadi kesibukan untuk mengamankan rumah dan kendaraannya
Agar tidak tertimbun hempasan air hujan dari awan mendung
Karena mendungnya langit pertanda banjirpun datang menjajah.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Klakson Berisik
Kurang lebar apa lagi soal jalan yang dibentang
Masih saja ada yang tak bisa lewat di jalan itu
Sana sini entah itu roda dua atau empat
Sibuk dengan suara klakson yang berisik
Terdengar kencang sekali seperti hendak merusak gendang telinga
Entah apa yang membuatnya jalan itu jadi macet
Mungkin karena terlalu banyak yang diam saat lampu sudah hijau.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015. 


Luasnya Hati
Dalam lautan kata yang tak ditemui dangkalnya
Meminta sama dengan hati meniru kata yang tak berujung ditatap
Untuk menerima segala luapan kisah yang menumpahinya
Berisikan untaian suka bersama pilu mengalir memenuhi isi hati
Deras hampir tak tertampung seutuhnya dalam palung kalbu
Hanya berdoa agar luasnya hati selebar kisah yang menyapa.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016.

 
Hujan
Tiada setetes pun langit menumpahkan hujan
Tanah tampak kering
Dan dalamnya sungai juga tak bertambah
Jatuhnya tiap tetes air yang serempak itu
Dari mendungnya awan yang menutupi sukanya hati
Sulit untuk menghindarkan dari kuyup yang membahasi pipi
Duduk menyendiri hanya ditemani genangan sedih
Karena kebahagiaan hanyut terbawa pilu bersama senyuman.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016.

Thursday, November 2, 2017

Kumpulan Puisi XIV

Kumpulan Puisi XIV

Hujan
Terbangun saat hujan turun
Dengan lebatnya menghujam atap-atap yang keras
Suara ribut pun ikut bersautan dari hujan itu
Hingga televisi dan radio yang hidup tak lagi terdengar
Sebagai penanda bagi langkah kaki untuk segera keluar dari peraduan
Agar tetesan hujan yang deras itu bisa ditampung semuanya.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015. 


Gelap di Malam Buta
Ada cahaya yang kini menerangi setiap rumah yang berpenghuni
Cahaya yang hanya hidup di malam yang katanya gelap menakutkan
Dari cahaya itu rumah-rumah yang ada di perkotaan terang benderang
Sampai suara jangkrik yang ribut ketika malam ikut teredam dengan cahaya terang
Tetapi tidak dengan yang jauh dari kota masih hidup dalam gelap
Bercahaya minyak yang sumbunya dari kain lusu
Hidupnya pun tak lama hanya sampai mata ingin terpejam
Dan tak sebenderang seperti cahaya yang ada di kota
Hingga yang rumahnya masih gelap gulita
Memandang langit seperti berpakaian yang mewah
Dipenuhi seribu bintang yang mengeluarkan cahaya menembus rumah-rumah
Yang masih belum ada cahaya listrik.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015. 


Mengacuhkan Pertanyaan
Ada orang tersesat di jalan yang berbangunkan gedung yang hampir menjilat langit
Ingin bertanya pada siapapun yang ada di jalan
Tetapi saat bertanya semua yang di pelataran sedang sibuk sambil menunduk
Sibuk melihat jam, sibuk melihat hape, dan sibuk untuk menghapal tugas
Sampai-sampai yang ingin bertanya pun terabaikan
Dan ia hanya terbengong lalu berjalan ke arah yang tak dimengerti.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015. 


Ada Senyuman
Dibalik lelahnya mencari rezeki di jalan-jalan
Orang-orang ini masih bisa menyunggingkan senyumnya yang indah
Orang-orang yang bekerja memancul tanah, membangun gedung, dan mengais barang bekas
Dengan bermandikan keringat yang urat di tangannya tampak sangat besar sekali
Tidak terlihat lelah menerpa mereka yang ditepis dengan senyuman
Untuk mensyukuri hidup yang terus dijalani tanpa mengeluh.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015. 


Hujan
Dalam luasnya dataran hijau yang air sungainya penuh
Mendatangkan keamanan pada penghuni yang merawatnya
Tetapi saat musim kemarau panjang tiba menerpa
Dataran hijau itu ikut layu disembur panas matahari
Dan sungai-sungai yang airnya deras mengalir pun menjadi kering meronta
Orang-orang yang mendiami dataran hijau yang ada sungainya
Begitu kebingungan untuk mengembalikan lahan keringnya menjadi hijau
Juga memenuhi kembali sungainya dengan air yang merimpah ruah
Doa dan usaha pun dipanjatkan agar lekas hujan turun membantu mereke.

Beranda Sanggar Pelangi 2015.  


Jangan Tidur
Tak ada satupun dari rakyat yang hidupnya susah untuk tidur lama
Mereka bekerja demi menerpa panas dan melawan badai yang bisa mengubur mereka
Kerja keras yang membabi buta untuk melindungi keluarga yang hafal dengan penderitaan
Agar tak lagi keluarga yang disayangi menderita akan panas, lapar, dan kebodohan
Tidurnya rakyat yang hidupnya susah hanya sebentar saja
Tak lebih dari saat malam sudah sangat larut hingga matahari hendak bangun dipagi buta
Apa yang dibuat rakyat yang kesusahan itu dapat memberi garis cerah
Pada yang merasa telah terpilih untuk mengayomi mereka
Untuk jangan suka tidur lama apalagi saat membincangkan nasib mereka.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015. 


Perahu Kecil
Perahu kecil yang suka mengarungi lautan biru
Yang dikayuh oleh mereka yang masih muda raganya
Kayuhan perahu kecil itu yang membelah laut bukanlah untuk liburan mereka
Tapi untuk menangkap ikan yang bisa diangkut ke dalam perahu dengan jumlah yang tak seberapa
Ada banyak sekali bahaya yang bisa menimpa perahu kecil itu
Yang menjungkir balikkannya masuk ke dalam laut biru yang ganas
Dan menumpahkan semua ikan yang dicari masuk lagi berbaur dengan alamnya
Adalah yang diperbuat oleh orang yang raganya masih muda mengayuh perahu kecil itu
Tak lain untuk bisa dia dan keluarganya terus hidup tanpa kelaparan.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015.  


Setangkai Mawar
Mawar yang harumnya wangi semerbak
Begitu dicari oleh siapa saja sebagai perlambang kebahagian
Rupa mawar yang setangkai begitu indah dan menawan
Dengan balutan warna merah pada kembang bunga yang mekar
Lalu dipagari oleh duri kecil agar tak sembarang boleh menyentuhnya
Setangkai mawar yang begitu sulit dicari
Membuat dikau begitu berharga dimata hampir setiap orang
Hingga siapapun yang memilikimu akan terus merawat dan menjaga
Agar tetap terus bermekar dan tidak layu.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015.

Wednesday, November 1, 2017

Kumpulan Puisi XIII

Kumpulan Puisi XIII

Hujan Yang Merindu
Jatuh air-air suci dari langit memijak bumi
Penanda kerinduan yang dalam pada yang dicintai
Menebar senyum pada yang ditinggal dalam kekeringan
Berharap menjadi perjumpaan yang mengharukan
Antara langit yang tidak melupakan bumi yang kering.

Beranda Sanggar Pelangi, 2014.  


Detak Kata
Kata bisa berdetak pada mulut yang mau mengejanya
Merasuki tenggorokan dan tersimpan di hati
Hati yang mengerti mengeja pula kata-kata itu.
Terharu, senang, dan sedih adalah buah kata yang menyentuh hati
Hingga mata tiada lagi bisa berkedip lama.

Beranda Sanggar Pelangi, 2014. 


Kota Polusi
Kota polusi adalah lambang kota yang maju
Berisikan debu-debu dari kendaraan dan pabrik-pabrik
Merasuki paru-paru insan yang berkeliar di dalamnya
Apalah daya berkata, polusi itu ibarat santapan saat pagi berpijar.

Beranda Sanggar Pelangi, 2014. 


Lampu Mati
Konon saat jaman batu berbicara
Malam itu gelap dan siang itu terang
Orang-orang sibuk menapak jejak hanya pada siang dan malam melelapkan raga.
Tiada lagi itu dijumpai ketika manusia mengeri malam bisa menjadi siang
Penuh cahaya membantu manusia berkarya pada malam tiba
Tapi itu hanya cerita lama
Saat ini, siang adalah terang dan malam menjadi gelap
Tanpa lampu yang meneranginya.

Beranda Sanggar Pelangi 2014.



Hujan
Melihat langit yang tidak lagi biru dibumbung awan yang hitam
Menjadikan panas pun ikut mengatup dalam selimut
Angin yang berhembus bersama dengan gemuruh yang bersahutan
Menandakan sebentar lagi butir-butir air yang terjun ke bumi
Kala awan yang sudah tidak sanggup menghitam lagi
Akhirnya menurunkan ribuan tetes mengempas tanah yang bisu.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016.


Banjir
Hujan yang tidak lagi turun sebentar ini
Mengalir tanpa henti memenuhi setiap ruang yang senggang akan udara
Ketika ruang-ruang itu penuh oleh air yang dihembuskan langit
Mengisyaratkan agar mencarikan ruang lagi pada hujan yang terus menetes
Tapi ruang-ruang banyak yang enggan berbagai dengan hujan itu
Karena ditimpa oleh sampah yang tak terhingga macamnya
Hingga membuat air itu menjadi meluap yang menenggelamkan mata kaki ini.

Berada Sanggar Pelangi, 2016.

Akhir Februari
Februari bulan yang penuh dengan kasih
Menebar rindu kepada siapa saja yang menyadarinya
Rindu-rindu yang disematkan pada hujan yang turut hadir di bulan ini
Ikut membuat hanyut hati pada lamunan yang ingin segera bertemu
Dalam waktu yang teramat panjang hingga februari menutup harinya.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016.


Goresan Pena
Pena yang diam tidak pula memberikan maksudnya
Walaupun ia disandingkan dengan kertas yang berwarna merah jambu
Tinta pada pena yang diam itu agar dapat memberikan makna
Mesti diayunkan dengan rasa lembut di secarik kertas putih polos
Menggoreskan ujung pena pada secarik kertas putih polos
Goresan itu berasal dari hati yang telah lama ingin mencurahkan semuanya
Mencurahkan dengan makna yang dapat dibaca terang-benderang.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016.
Kumpulan Puisi XII

Kumpulan Puisi XII

Hilanglah Gelap
Gelap yang begitu hitam
Pekat hanya menyeruat tanda ketakutan
Membuat raga diam terpaku diam bersandar
Suara-suara meringis ikut menyambut dengan perasaan haru
Memohon pada siapapun yang bisa mendengarnya
Untuk bisa membuka sedikit cahaya yang terang
Agar kalutnya hati bisa tersenyum
Walaupun masih dilandah gulana.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Mewujudkan MimpiMelihat realita sangat menyakitkan
Bagi mereka yang masih belia untuk menimba ilmu
Rumah yang terpisah jurang dengan sekolahnya
Ditempuh memakai kaki yang tak dialasi sepatu
Menerobos gelap dan sangarnya lembah
Tak pelak jembatan untuk menyebarang ke sekolah
Harus juga mengangah seperti hendak menelan kaki yang melewatinya
Demi mimpi yang begitu bisa menggugah semangat.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016.


Hitamnya Langit
Langit yang semula putih kebiruan
Mendadak berubah menjadi hitam pekat
Yang menghapus indahnya cahaya terpancar dari rona biru langit
Dengan hanya menyisakan gelapnya langit menakutkan
Disoraki dengan gemuruh yang menghujam tanah
Hanya membuat langit hanya semakin tampak kelam.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016.


Pedulimu Pada Alam
Asap mulai membubung tinggi menyelimuti kota
Yang beberapa waktu lalu telah hilang ditelan bumi
Berasal dari hutan yang habis dilahap api
Menjadikan hutan tidak lagi bisa mengeluarkan udara
Untuk bisa dihirup oleh makhluk yang ada di manapun
Kini hutan itu hanya menyisakan asap yang menyatu pada udara
Masuk ke dalam rongga paru-paru yang menyesakkan nafas
Apa yang menjadikan betapa mudahnya hutan terbakar
Mungkin karena sirnanya rasa peduli pada alam
Yang merawat segala makhluk sampai akhir hayatnya.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016.


Hujan Tengah Malam
Nyenyak dalam buaian malam yang diiringi dengan hujan
Menidurkan sesiapapun dengan balutan mimpi yang indah
Tak terpikir pada petir dan hujan yang deras turun menerjang
Dan juga membayangkan orang-orang yang tidak bisa tidur nyenyak
Karena harus berjibaku saat hujan turun di tengah malam.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Membisu
Membisu mereka yang melihat ada yang tak bisa apa-apa
Yang tak bisa karena dihimpit rasa susah hingga merana
Memilu sampai tak lagi dapat melihat senyum dan tawa
Dengan perasaan yang hambar kesusahaan itu hanya dijalani sendiri
Tanpa ada tangan yang mengulur dan hanya melihat dari kejauhan
Seperti patung yang tidak hanya bisu pada suara tapi semuanya.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Pada Rindu
Ada rindu yang tertanam di dalam diri ini
Seperti sengaja tertanam agar tak melupakan apa yang telah dilewati
Dengan bersama orang-orang yang selalu menolong saat susah mengikat erat
Begitulah dengan rindu ini membuat hati seperti gundah gulana
Yang ingin segera menyuruh tubuh ini agar segera dapat menjumpai yang dirindukan
Dan berdoa semoga dalam keadaan baik-baik saja.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016.
Kumpulan Puisi XI

Kumpulan Puisi XI

Hampir Mati
Saat malam yang pekat membelenggu
Tersandar orang-orang di halaman ruko yang kosong
Untuk beristirahat menghabiskan sisa malam yang panjang
Dengan lelahnya ia coba rebahkan tubuhnya di atas batu yang dingin
Sembari dihimpit rasa lapar yang membuat air mata berlinang di wajahnya
Yang menunjukkan ia hampir saja mati digilas hidup ini.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015.


Di depan Pintu
Pergi melangkah dengan rasa yang berat hati
Saat sejenak berpaling ada sesosok yang sedang berdiri di depan pintu
Sesosok itu tidak berkata hanya tersenyum dengan melembaikan tangan
Dan ia akan terus berdiri di depan pintu untuk orang yang pergi melangkah
Agar suatu saat ia kembali tak perlu harus mengetok pintu
Karena telah ada yang menunggu di depan pintu.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015.


Awan Mendung
Takut melihat awan yang menggeliat menjadi mendung
Takut bukan karena awan itu akan menurunkan petir yang membakar apa saja
Tapi takut bila awan itu sampai meneteskan air tanpa henti ke tanah ini
Yang dapat membuat banjir sampai siapapun tak akan mengurasnya
Karena selokan dan sungai di tanah ini sudah dihimpit dengan sampah
Hingga tak satupun yang lewat dapat mengalir lagi.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015.


Sengsara
Dalam kekayaan alam yang tak terhitung nilainya
Dihadiahi untuk bisa menafkahi semua orang yang ada
Yang berisikan jutaan hutan, emas, ikan, dan satwanya
Akan tetapi banyak orang-orang yang tak juga bisa sejahtera
Dan hidup dalam kesengsaraan yang bekepanjangan
Karena kekayaan itu hanya sibuk untuk diperebutkan
Hingga membuat yang lain harus sabar menunggu yang entah sampai kapan.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015.   


Hilangkah Engkau?
Lama dikau tak lagi ada dalam pandangan nyata
Seperti biasa saat mata mampu tak berkedip melihat mu
Seperti itu pula kala jemari-jemari tak mau berhenti mengisahkan tentang mu
Dikau yang hidup dalam kata ‘nafas’ bagi diri ini
Abadi untuk diingat selama tanah masih ada yang memijak
Tapi bersembunyi dimanakah dikau?
Dibalik yang berbayang hitam telah disibakkan
Hanya tampak cahaya putih yang mengisi bayang itu
Sulit untuk menemukan engkau yang sangat berarti
Yang hilang begitu saja tanpa suara perpisahan.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Dirobek
Berat isi kata yang ada disurat itu
Sampai mata mengeluarkan air yang tak kuasa menahannya
Tangan pun ikut menggeletar hendak meletakkan surat itu kembali
Bibirpun seperti disulam rapat tanpa suara yang bisa dikeluarkan
Melukiskan wajah tampak seperti perahu yang diombang ambingkan badai
Sampai akhirnya tak lagi kuat membaca kata-kata diakhir surat itu
Sudah dirobek berkeping-keping
Mirip hancurnya bongkahan batu besar itu dipalu ribuan kali.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016.