Saturday, November 4, 2017

Kumpulan Puisi XIX

Menanti Hujan
Riak suara hujan ramai membanjiri tanah-tanah yang sudah lama kering
Tapi tanah itu bukanlah sekarang sedang kami pijak
Tidak setetes pun air ada yang hendak turun dari singgasana langit
Yang sedang dinanti ribuan orang dengan melihat sungai dan sumur perlahan kering
Sebab air yang sangat ingin kami tampung itu
Bukan hanya digunakan untuk melepas dahaga kami
Tapi mampu menyambung nyawa ternak dan tanaman
Yang sedang menggigil kehausan.

Beranda Sanggar Pelangi, 2017. 


Bunga Mawar
Bunga mawar yang indahnya tiada tara
Mekar dalam satu tangkai dengan warna yang teramat cerah
Tangkainya yang berpagarkan duri-duri kecil
Sering tak terlihat kala siapapun hendak menggenggamnya
Tanpa sadar rasa sakit menusuk jari-jari yang tidak dulu berpikir
Tapi untunglah . . .
Tangkai mawar itu tak sampai patah.

Beranda Sanggar Pelangi, 2017.


Menanti Hujan 
Tak lagi ada rintikan hujan turun membahasi tanah ini
Yang sudah sangat haus hingga tampak retak-retak
Apa yang berdiri di atas tanah kering itu mulai goyah
Sulit untuk berdiri tegak dan hanya bersandar pada dinding rapuh
Hingga dengan satu dua kalimat terucap sambil terbata-bata
Meminta agar langit bisa ikut terharu melihat tanah yang haus
Lalu menangis agar tanah itu tidak sampai mati meradang.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016.


Melepas Senyum
Sudah cukup jarang wajah yang ceria itu tersenyum lagi
Seperti saat dulu setiap dentingan waktu terlewati dengan tawa
Tak pernah dijumpai sedih sampai melinangkan air mata
Tapi kini wajah bahagia itu berubah menjadi murung
Ketika hatinya mendapat kabar yang membuatnya gundah gulana
Dan hari-hari yang dilaluinya pun kini hanya berisikan rasa putus asa
Mungkin dengan menghidupkan cahaya keceriaan yang hampir redup di hatinya
Yang bersedih itu bisa dapat kembali melepaskan senyumnya.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016.


Menanti Pagi
Mata tak bisa menutup rapat
Kala malam sudat teramat larut dengan tanpa apapun yang ada dilangit
Disuguhi dengan hujan yang menari rapi sampai menderukan suara
Membuat tubuh sangat menggigil dimakan dingin yang tak terperi lagi
Sambil duduk beralaskan kardus yang dikutip dari tempat sampah
Duduk dengan memeluk diri sendiri mengunggu hujan ini reda
Dan meminta agar pagi bisa segera kembali lagi.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Cabai Busuk
Sudah begitu memperihatinkankah kondisi ekonomi rakyat kita
Saat cabai yang merah merona tak lagi bisa terbeli
Dengan pundi-pundi rupiah yang dikumpulkan dari sana sini
Harga yang melangit mmbuat pedasnya cabai menusuk hulu hati
Tak lagi bisa lidah ini mampu mengecapkan pedasnya dengan benar
Akhirnya cabai yang sudah menghitam pun diburu
Hanya sekedar agar pedasnya cabai itu tak hilang
Dari kebiasaan lidah yang mencintainya.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Gerimis
Dari jendela kaca ini bisa dipandang
Langit yang keruh dengan awan hitam mengelilinginya
Disertai rintik hujan yang tak begitu deras menyapa jendela
Dengan sapaan biasa tanpa senyum atau tawa
Membuat gelapnya daratan seperti sangat hampa
Entahlah, setidaknya berharap saja pada matahari
Agar segera muncul kembali memancarkan sinarnya
Sehingga gerimis itu berganti dengan pelangi.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016.

0 komentar:

Post a Comment