Thursday, April 25, 2019

Puisi Chairil Anwar Bagian III

KRAWANG-BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
Tidak bisa teriak ‘Merdeka’ dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan mendegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan ati 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan,
atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata.

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenang lah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenang lah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
Chairil Anwar
YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS
Kelam dan angin lalu mempesiang diriku
Menggigir juga ruang di mana dia yang ku ingin
Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
Dan aku bis lagi lepaskan kisah baru padamu
Tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlaku beku


HAMPA
Sepi di luar. Sepi menekan mendesak
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut
Tak satu kuasa melepas renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti

Sepi
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertampik
Ini sepi terus ada. Dan menanti

Puisi Chairil Anwar Bagian II

AKU
Kalau sampai waktuku
Aku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Chairil Anwar
AKU BERKACA
Ini muka penuh luka
Siapa punya?

Ku dengar seru menderu
Dalam hatiku
Apa hanya angin lalu?

Lagi lain pula
Menggelepar tengah malam buta


Ah..!!!

Segala menebal, segala mengental
Segala tak ku kenal..!!!
Selamat tinggal…!!


DOA
Kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh

Cahaya Mu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku
Aku hilang bentuk remuk

Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
Di pintu Mu aku bisa mengetuk
Aku tidak bisa berpaling

Kumpulan Puisi Chairil Anwar

NISAN
(untuk nenekanda)
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta
Oktober 1942

Chairil Anwar
PENGHIDUPAN
Lautan maha dalam
mukul dnetur selama
nguji tenaga pematang kita

mukul dentur selama hingga hancur remuk redam
Kurnia Bahagia
kecil setumpuk
sia-sa dilindung, sia-siapa dipupuk
desember 1942


DIPONEGORO
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali

Dan bara agum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati

Maju
Ini barisan tak bergenderang berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu

Sekali berarti
Sudah itu mati

Maju
Bagimu Negeri
Menyediakan api

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda

Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang .
Februari 1943

Dikutip dari buku Aku Ini Binatang Jalang, koleksi sajak 1942-1949 Chairil Anwar, PT Gramedia, Jakarta, Cetakan kedua puluh tujuh, Februari 2018.