Tuesday, October 31, 2017

Kumpulan Puisi IX

Gemuruh
Kaki yang mulai meninggalkan jejak di rumah ini
Sedang berjalan menyusur dengan penuh asa dan cinta
Melewati awan-awan yang sedang bergemuruh di singgasananya
Mewanti-wanti yang punya kaki tadi semoga tidak tersambar
Yang melihatnya sangat penuh dengan kekhawatiran
Karena begitu inginnya ia melihat yang punya kaki itu kembali lagi
Duduk bersama di satu atap dalam senyum tanpa gemuruh

Beranda Sanggar Pelangi, 2015  


Di Ujung Fatamorgana
Sudah kepayang pikiran ini menantikannya
Setiap senja mulai tiba sudah berdiri jasad dan rindu ini di tepi dermaga
Menantikan ia datang menghampiri, menyapa, dan berbagai sapa
Tapi dalam tiap hari-hari yang dilalui tidak jua ia muncul
Yang membuat pikir ini pun seperti mengkhayalkannya tiba dan berkata:
“apa kabar.......”

Beranda Sanggar Pelangi, 2015  


Air Mahal di Negeri Ini
Negeri subur ini disebut-sebut airnya begitu nikmat rasa
Dapat menyejukkan dahaga dan bisa mengganjal lapar
Harganya pun sangat murah sekali dan mudah di temui
Tetapi itu hanya cerita dulu saat orang-orang belum pada rakus
Cerita sekarang air di negeri ini sulit ditemui dan bau
Harganya pun mahal-mahal yang tidak lagi ada yang gratis
Membuat yang hidup dalam kesusahan tidak lagi dapat merasakan
Air itu dapat menyejukkan dada yang teruk bekerja.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015


Hedonis
Ada puluhan juta lebih rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan
Yang hari-harinya selalu dibanting oleh tajamnya panas dan kalutnya dingin malam
Tiada yang mereka harapkan kecuali esok masih bisa makan dan hidup
Tapi yang sedang duduk di kursi kebesaran pemerintahan
Suka berfoya-foya berbelanja hingga ke eropa sana
Entah itu pakai uang siapa dan untuk apa barangnya
Dan terkadang saat sedang mengkaji nasib rakyatnya bisa pula mereka tidur
Membuat makin miris saja bila raykat miskin itu tahu
Para pemimpinnya hidup bermewahan dan lupa dengan mereka.

Beranda Sanggar Pelangi, 2015  


Hadirmu
Ada suatu keceriaan melihat dikau hadir
Untuk  membuka jahitan sepi yang mengatup di bibir ini
Yang lama menjadikan gelap meredupkan terangnya cahaya di hati
Agar bisa senyum terus bersua walau hempasan angin menerpa
Karena engkau selalu membentenginya dari rapuhnya rasa yang mudah retak.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016. 


Bakarlah Sesukamu
Tahu kalau hutan kita sudah mulai habis
Terus-terusan saja dibakar tanpa peduli paru-paru itu dicecoki asapnya
Segala upaya dibuat agar hutan bisa subur mencium langit yang tak berupa
Untuk menebarkan hawa-hawa penyambung nyawa bagi semua makhluk
Tapi apalah mau dikata lagi
Peduli itu kini dibalas tidak peduli apa-apa
Hanya bisa berkata saja
: Bakarlah sesukamu.

Beranda Sanggar Pelangi, 2016.

0 komentar:

Post a Comment