Kita Saksikan
kita saksikan burung-burung lintas di udara
kita saksikan awan-awan kecil di langit utara
waktu itu cuaca pun senyap seketika
sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnya
di antara hari buruk dan dunia maya
kita pun kembali mengenalnya
kumandang kekal, percakapan tanpa kata-kata
saat-saat yang lama hilang dalam igauan manusia
Sajak Putih
beribu saat dalam kenangan
surut perlahan
kita dengarkan bumi menerima tanpa mengaduh
sewaktu detik pun jatuh
kita dengar bumi yang tua dalam setia
Kasih tanpa suara
sewaktu bayang-bayang kita memanjang
mengabur batas ruang
kita pun bisu tersekat dalam pesona
sewaktu ia pun memanggil-manggil
sewaktu Kata membuat kita begitu terpencil
di luar cuaca
Dua Sajak Dibawah Satu Nama
I
darah tercecer di ladang itu. Siapa pula
binatang korban kali ini, saudara?
Lalu senyap pula. Berapa jaman telah menderita
semenjak Ia pun mengusir kita dari Sana
awan-awan kecil mengenalnya kembali, serunya:
telah terbantai Abel, darahnya merintih kepada Bapa
(aku pada pihakmu, saudara, pandang ke muka
masih tajam bau darah itu. Kita ke dunia)
II
kalau Kau pun bernama Kesunyian, baiklah
tengah hari kita bertemu kembali sehabis
kubunuh anak itu. Di tengah ladang aku tinggal sendiri
bertahan menghadapi Matahari
dan Kau pun di sini. Pandanglah dua belah tanganku
berlumur darah saudaraku sendiri
pohon-pohon masih tegak, mereka pasti mengerti
dendam manusia yang setia tetapi tersisih ke tepi
benar. Telah kubunuh Abel, kepada siapa
tertumpu sakit hati alam, dendam pertama kemanusiaan
awan-awan di langit kan tetap berarak, angin senantiasa
menggugurkan daunan segala atas namamu: Kesunyian
Kupandang Kelam yang Merapat ke Sisi Kita
kupandang kelam yang merapat ke sisi kita
siapa itu di sebelah sana, tanyamu tiba-tiba
(malam berkabut seketika) Barangkali menjemputku
barangkali berkabar penghujan itu
kita terdiam saja di pintu. Menunggu
atau ditunggu, tanpa janji terlebih dahulu
kenalkah ia padamu, desakmu (Kemudian sepi
terbata-bata menghardik berulang kali)
bayang-bayang pun hampir sampai di sini. Jangan
ucapkan selamat malam undurlah perlahan
(pastilah sudah gugur hujan
di hulu sungai itu) itulah Saat itu, bisikku
kukecup ujung jarimu kau pun menatapku:
bunuhlah ia, suamiku (Kutatap kelam itu
bayang-bayang yang hampir lengkap mencapaiku
lalu kukatakan: mengapa Kau tegak di situ)
gerimis jatuh kaudengar suara di pintu
bayang-bayang angin berdiri di depanmu
tak usah kauucapkan apa-apa seribu kata
menjelma malam, tak ada yang di sana
tak usah kata membeku, detik
meruncing di ujung Sepi itu
menggelincir jatuh
waktu kaututup pintu. Belum teduh dukamu
kita saksikan burung-burung lintas di udara
kita saksikan awan-awan kecil di langit utara
waktu itu cuaca pun senyap seketika
sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnya
di antara hari buruk dan dunia maya
kita pun kembali mengenalnya
kumandang kekal, percakapan tanpa kata-kata
saat-saat yang lama hilang dalam igauan manusia
Sajak Putih
beribu saat dalam kenangan
surut perlahan
kita dengarkan bumi menerima tanpa mengaduh
sewaktu detik pun jatuh
kita dengar bumi yang tua dalam setia
Kasih tanpa suara
sewaktu bayang-bayang kita memanjang
mengabur batas ruang
kita pun bisu tersekat dalam pesona
sewaktu ia pun memanggil-manggil
sewaktu Kata membuat kita begitu terpencil
di luar cuaca
Sapardi Djoko Damono |
I
darah tercecer di ladang itu. Siapa pula
binatang korban kali ini, saudara?
Lalu senyap pula. Berapa jaman telah menderita
semenjak Ia pun mengusir kita dari Sana
awan-awan kecil mengenalnya kembali, serunya:
telah terbantai Abel, darahnya merintih kepada Bapa
(aku pada pihakmu, saudara, pandang ke muka
masih tajam bau darah itu. Kita ke dunia)
II
kalau Kau pun bernama Kesunyian, baiklah
tengah hari kita bertemu kembali sehabis
kubunuh anak itu. Di tengah ladang aku tinggal sendiri
bertahan menghadapi Matahari
dan Kau pun di sini. Pandanglah dua belah tanganku
berlumur darah saudaraku sendiri
pohon-pohon masih tegak, mereka pasti mengerti
dendam manusia yang setia tetapi tersisih ke tepi
benar. Telah kubunuh Abel, kepada siapa
tertumpu sakit hati alam, dendam pertama kemanusiaan
awan-awan di langit kan tetap berarak, angin senantiasa
menggugurkan daunan segala atas namamu: Kesunyian
Kupandang Kelam yang Merapat ke Sisi Kita
kupandang kelam yang merapat ke sisi kita
siapa itu di sebelah sana, tanyamu tiba-tiba
(malam berkabut seketika) Barangkali menjemputku
barangkali berkabar penghujan itu
kita terdiam saja di pintu. Menunggu
atau ditunggu, tanpa janji terlebih dahulu
kenalkah ia padamu, desakmu (Kemudian sepi
terbata-bata menghardik berulang kali)
bayang-bayang pun hampir sampai di sini. Jangan
ucapkan selamat malam undurlah perlahan
(pastilah sudah gugur hujan
di hulu sungai itu) itulah Saat itu, bisikku
kukecup ujung jarimu kau pun menatapku:
bunuhlah ia, suamiku (Kutatap kelam itu
bayang-bayang yang hampir lengkap mencapaiku
lalu kukatakan: mengapa Kau tegak di situ)
Gerimis Jatuh
Kepada: Arifin C. Noergerimis jatuh kaudengar suara di pintu
bayang-bayang angin berdiri di depanmu
tak usah kauucapkan apa-apa seribu kata
menjelma malam, tak ada yang di sana
tak usah kata membeku, detik
meruncing di ujung Sepi itu
menggelincir jatuh
waktu kaututup pintu. Belum teduh dukamu
0 komentar:
Post a Comment