Hujan sejatinya adalah anugerah dari Tuhan untuk manusia dan makhluk hidup lainnya sebagai rezki yang bisa dipergunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Dan hujan termaktub di dalam kitab suci juga berfungsi sebagai perekat buah-buahan terhadap rantingnya, menyatukan tanah yang retak-retak akibat kekeringan dan juga hujan sangat dibutuhkan masyarkat untuk minum dan keperluan sehari-hari lainya. Tetapi itu semuanya jika digambarkan di era sekarang di Indonesia hal itu serasa sudah berubah bahwa tidak lagi hujan menjadi berkah untuk sesuatu yang dijelaskan di atas tetapi lebih kepada bencana dari pola prilaku manusia yang menghasilkan itu semuanya.
Pagelaran dalam panggung kehidupan ini sering dijumpai di perkotaan yang menjadi kesibukan masyarkat sehari-hari ketika hujan lebat turun mencapai waktu satu jam bahkan lebih otomatis kebingungan sudah menjadi asupan untuk mempersiapkan barang-barang rumah tangga agar bisa segera diungsikan ditempat yang aman dikarenakan banjir yang akan melanda. Lain cerita para pengguna kendaraan yang terjebak kemacetan di jalan kota yang mendorong kendaraannya agar tidak kemasukan air karena terjebak banjir disebabkan guyuran hujan. Hal-hal seperti itu tidaklah begitu saja terjadi tetapi lebih sistem pengaturan tata kota yang buruk sehingga menyebabkan ketika hujan maka banjir.
Bicara dari pada itu, mengecilnya sungai-sungai yang seharusnya tempat air mengalir disebabkan sampah-sampah dan banyaknya bangunan rumah penduduk yang memakan areal sungai sehingga tak bisa menampung debit air secara maksimal ketika hujan deras turun. Disamping itu, telah musnahnya fungsi hutan di daerah perbukitan yang seharusnya sebagai alur resapan air yang sekarang tidak lagi itu dapat di lihat lagi. Setiap tahun hutan-hutan disetiap daerah hilang terambas yang beralih fungsi lahannya dipergunakan untuk lahan pertanian, membangun villa-villa, dan perhotelan. Sehingga peran yang semestinya untuk menahan air adalah hutan kini tidak bisa lagi terlaksana.
Dari akibat-akibat itu terjadilah pengikisan tanah di daerah perbukitan dan pegunungan yang dampaknya ketika hujan deras turun maka terjadilah longsor seperti yang sering dipersaksikan di televisi. Lain halnya dampak selanjutnya yang dihadapi daerah perkotaan seperti Jakarta diwaktu Bogor didera hujan maka Jakarta akan mendapatkan banjir kiriman dari sana. Kerugian-kerugian yang harus ditanggung tidaklah sedikit, mulai dari perabotan rumah, rusaknya rumah, atau bahkan kehilangan nyawa yang menjadi persoalan serius yang dihadapi masyarakat ketika hujan turun ibarat momok.
Peran Pemerintah
Diperlukannya perhatian pemerintah baik pusat maupun daerah untuk dapat menyeimbangkan tata kelola sumber daya alam yang dimilki perdaerah. Adanya pembalakan liar, sempitnya sungai-sungai, dan nihilnya resapan air dari bangunan penduduk di perkotaan adalah merupakan pemerintah mengambil peran serius dari itu. Membedah itu semuanya terjadi kelimpangan keseimbangan yang menjadikan hujan tidak lagi dapat ditampung disungai-sungai, di hutan-hutan pegunungan maka dibutuhkan solusi pemecahan untuk mengatur tata kelola lingkungan yang ramah. Diaturnya UU mengenai pengaturan tata ruang lingkungan yang termaktub dalam UU RI nomor 32 tahun 2009 yang menjelaskan dibutuhkan keserasian terhadap perlindungan terhadap ekosistem pelestarian lingkungan. Hal ini didasarkan pada adanya sikap saling membutuhkan antara lingkungan dan manusia untuk kelangsungan hidup dimasa mendatang.
Hilangnya hutan-hutan akibat lemahnya pemimpin di daerah yang menjadikan gundulnya perbukitan dan areal tinggi lainnya yang berdampak langsung bagi masyarakat yang berada di bawah perbukitan. Berbeda areal lingkungan kota yang sudah tidak memenuhi tata kelola yang baik lagi. Penyebab dari itu semua tidak terlepas dari pesatnya jumlah penduduk diperkotaan yang setiap tahunya melonjak drastis sehingga membutuhkan tanah untuk bernaung. Dari itu pembangunan yang tidak stabil dengan tidak memerhatikan resapan air mengakibatkan tersumbatnya parit-parit dari tumpukan sampah dan sungai-sungai sudah menjadi hunian bagi rumah warga. Pengaturan ini dari pembangunan bisnis pengusaha yang memakai areal perhutanan menjadi asupan pemikiran bagi pemerintah dalam mengoreksi perizinan bagi pengusaha untuk kelangsungan mendatang dalam antisipasi banjir.
Menjadi penilaian perlunya diajak para pembisnis yang melakukan bisnis di perkotaan dengan turut ikut menswadayakan kelestarian lingkungan dengan membantu pembersihan sungai dari ronggokan sampah, ikut melakukan membuat rencana pembersihan gorong-gorong dari sampah yang menyumbat. Dan juga peran bersama melakukan reboisasi hutan yang sudah gundul. Dengan terjadi yang demikian, keseimbangan menjadi perwujudan bagi kesejahteraan masyarakat yang hilang dibenaknya akan ketakutan dari hujan dan menjadi banjir.
Dari website wwr.or.id yang melangsir data dari Buku Statistik Kehutanan Indonesia Kemenhut 2011 yang dipublikasi pada bulan Juli 2012 bahwa Indonesia memiliki hamparan hutan yang luas. Dengan luas hutan Indonesia sebesar 99,6 juta hektar atau 52,3% luas wilayah Indonesia, namun setiap hari jumlah hutan kian menepis hingga mencapai 610.375,92 Ha per tahun (2011) dan tercatat sebagai tiga terbesar di dunia. Hal ini jika tidak menjadi perubahan bagi semua pihak dalam menjalankan perbaikan dari lingkungan bagi keseimbangan antar makhluk hidup hanya menanti bencana yang semula anugerah bagi semua makhluk hidup yakni manusia, binatang dan tumbuhan. Dan tidak ada lagi istilah yang timbul dibenak warga dengan Ketika Hujan Deras Maka Banjir.
Oleh : Satria Dwi Saputro
(Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Ekonomi Islam, Fakultas Syariah, IAIN-SU)
Pagelaran dalam panggung kehidupan ini sering dijumpai di perkotaan yang menjadi kesibukan masyarkat sehari-hari ketika hujan lebat turun mencapai waktu satu jam bahkan lebih otomatis kebingungan sudah menjadi asupan untuk mempersiapkan barang-barang rumah tangga agar bisa segera diungsikan ditempat yang aman dikarenakan banjir yang akan melanda. Lain cerita para pengguna kendaraan yang terjebak kemacetan di jalan kota yang mendorong kendaraannya agar tidak kemasukan air karena terjebak banjir disebabkan guyuran hujan. Hal-hal seperti itu tidaklah begitu saja terjadi tetapi lebih sistem pengaturan tata kota yang buruk sehingga menyebabkan ketika hujan maka banjir.
Dari akibat-akibat itu terjadilah pengikisan tanah di daerah perbukitan dan pegunungan yang dampaknya ketika hujan deras turun maka terjadilah longsor seperti yang sering dipersaksikan di televisi. Lain halnya dampak selanjutnya yang dihadapi daerah perkotaan seperti Jakarta diwaktu Bogor didera hujan maka Jakarta akan mendapatkan banjir kiriman dari sana. Kerugian-kerugian yang harus ditanggung tidaklah sedikit, mulai dari perabotan rumah, rusaknya rumah, atau bahkan kehilangan nyawa yang menjadi persoalan serius yang dihadapi masyarakat ketika hujan turun ibarat momok.
Peran Pemerintah
Diperlukannya perhatian pemerintah baik pusat maupun daerah untuk dapat menyeimbangkan tata kelola sumber daya alam yang dimilki perdaerah. Adanya pembalakan liar, sempitnya sungai-sungai, dan nihilnya resapan air dari bangunan penduduk di perkotaan adalah merupakan pemerintah mengambil peran serius dari itu. Membedah itu semuanya terjadi kelimpangan keseimbangan yang menjadikan hujan tidak lagi dapat ditampung disungai-sungai, di hutan-hutan pegunungan maka dibutuhkan solusi pemecahan untuk mengatur tata kelola lingkungan yang ramah. Diaturnya UU mengenai pengaturan tata ruang lingkungan yang termaktub dalam UU RI nomor 32 tahun 2009 yang menjelaskan dibutuhkan keserasian terhadap perlindungan terhadap ekosistem pelestarian lingkungan. Hal ini didasarkan pada adanya sikap saling membutuhkan antara lingkungan dan manusia untuk kelangsungan hidup dimasa mendatang.
Hilangnya hutan-hutan akibat lemahnya pemimpin di daerah yang menjadikan gundulnya perbukitan dan areal tinggi lainnya yang berdampak langsung bagi masyarakat yang berada di bawah perbukitan. Berbeda areal lingkungan kota yang sudah tidak memenuhi tata kelola yang baik lagi. Penyebab dari itu semua tidak terlepas dari pesatnya jumlah penduduk diperkotaan yang setiap tahunya melonjak drastis sehingga membutuhkan tanah untuk bernaung. Dari itu pembangunan yang tidak stabil dengan tidak memerhatikan resapan air mengakibatkan tersumbatnya parit-parit dari tumpukan sampah dan sungai-sungai sudah menjadi hunian bagi rumah warga. Pengaturan ini dari pembangunan bisnis pengusaha yang memakai areal perhutanan menjadi asupan pemikiran bagi pemerintah dalam mengoreksi perizinan bagi pengusaha untuk kelangsungan mendatang dalam antisipasi banjir.
Menjadi penilaian perlunya diajak para pembisnis yang melakukan bisnis di perkotaan dengan turut ikut menswadayakan kelestarian lingkungan dengan membantu pembersihan sungai dari ronggokan sampah, ikut melakukan membuat rencana pembersihan gorong-gorong dari sampah yang menyumbat. Dan juga peran bersama melakukan reboisasi hutan yang sudah gundul. Dengan terjadi yang demikian, keseimbangan menjadi perwujudan bagi kesejahteraan masyarakat yang hilang dibenaknya akan ketakutan dari hujan dan menjadi banjir.
Dari website wwr.or.id yang melangsir data dari Buku Statistik Kehutanan Indonesia Kemenhut 2011 yang dipublikasi pada bulan Juli 2012 bahwa Indonesia memiliki hamparan hutan yang luas. Dengan luas hutan Indonesia sebesar 99,6 juta hektar atau 52,3% luas wilayah Indonesia, namun setiap hari jumlah hutan kian menepis hingga mencapai 610.375,92 Ha per tahun (2011) dan tercatat sebagai tiga terbesar di dunia. Hal ini jika tidak menjadi perubahan bagi semua pihak dalam menjalankan perbaikan dari lingkungan bagi keseimbangan antar makhluk hidup hanya menanti bencana yang semula anugerah bagi semua makhluk hidup yakni manusia, binatang dan tumbuhan. Dan tidak ada lagi istilah yang timbul dibenak warga dengan Ketika Hujan Deras Maka Banjir.
Oleh : Satria Dwi Saputro
(Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Ekonomi Islam, Fakultas Syariah, IAIN-SU)
0 komentar:
Post a Comment