Segalanya Jadi Panas
Basah sudah baju ini karena keringat yang bercucuran
Seperti tak ingin berhenti mengalir dengan hawa yang menguap
Disebabkan panas yang amat luar biasa menyengat
Yang tidak hanya badan saja dibuatnya sampai mencurahkan keringat
Tapi alam pun ikut layu bersama dengan air yang mengering
Diikuti pula oleh pikiran yang tidak lagi mudah untuk berbicara
Hanya dibalut rasa marah dengan ingin bermusuhan pada siapa saja.
Beranda Sanggar Pelangi, 2016.
Diufuk Barat
Terjaga diri ini saat matahari melipat malam dan menggantinya jadi pagi
Disambut riang oleh riuh suara ayam jantan yang terjaga pertama
Bersama dengan itu lapang pikiran dinuansakan pada senyum yang tak putus
Untuk menyambut pagi dikala fajar itu bernyanyi diufuk timur
Hingga siapapun tak ingin melewatkannya dengan sibuk untuk berkreativitas
Agar tidak ada yang jenuh apalagi sampai merenung kesepian
Sampai nafas lega terhembus kala sang fajar itu menyudahi nyanyi yang merdu
Ketika ia tersenyum pada sesiapa pun yang menikmati harinya
Sebelum ditutup oleh tirai pertunjukan diufuk barat berwarna kuning terang.
Beranda Sanggar Pelangi, 2016.
Malangnya Anak-Anak Itu
Jalan yang entah kapan sunyinya
Begitu ramai diisi oleh mesin berjalan dan yang berlalu lalang
Disisipi oleh tawa-tawa mungil yang saling berlarian di jalan itu
Mereka itu adalah anak-anak yang menjajakan apa saja kepada siapa saja di jalan
Dengan wajah lusuh yang penuh debu dan baju yang serba longgar
Tanpa peduli lagi pada rasa aman yang sudah hampir lepas dari raganya
Untuk mengutip tiap keping uang receh dari yang kasian melihat mereka
Hanya untuk biar besok masih ada yang bisa disantap sebagai pengganjal perut
Karena sudah tidak ada lagi yang sanggup menghidupi anak-anak itu
Dari dunia yang teramat keras sekali bagi mereka.
Beranda Sanggar Pelangi, 2016.
Sembako Murah
Rakyat-rakyat yang hidup dalam kemelaratan
Dihimpit dalam gundahnya untuk membeli sembako yang kian mahal
Sembako itu dibutuhkan untuk menyenyakkan bayi dan anak-anak yang tersentak dari laparnya.
Telah banyak yang diperbuat untuk membelinya dengan kerja yang memeras darahnya
Tapi tak jua cukup untuk membeli sembako itu
Karena harganya yang mahal membuat mereka tak sanggup membeli semuanya.
Beranda Sanggar Pelangi, 2015.
Setetes Air
Air yang tumpah ruah di tanah pertiwi ini
Seakan menunjukkan betapa suburnya negeri ini untuk menghidupi kami semua
Saat dipikir tentang air yang melimpah mungkin tak ada yang mati kehausan
Atau juga luntang-lantang mencari air hingga ke bawah batu
Tapi nyatanya itu yang tak mungkin sekarang jadi mungkin terjadi
Tentang mahalnya sudah harga air bagi tanah pertiwi yang melimpah air
Entah siapa yang memonopoli atau tangan kami yang telah mencemari air itu
Dan sekarang setetes air sangat berarti untuk kami melanjutkan hidup.
Beranda Sanggar Pelangi, 2015.
Tangisan yang Tak Pernah Kering
Diucapkan satu patah kata dengan sendu yang terbata
Dari seorang manusia yang hatinya sedang pilu merana
Bukan karena dikhianati oleh kekasih atau sahabatnya
Tapi ia begitu kecewa pada yang dipilihnya untuk mengayominya
Kecewa karena ia telah lupa dengan janjinya dan membiarkan seorang manusia itu merana
Dan dalam sedihnya seorang manusia terus menangis memohon kepada Tuhan
Untuk membuka lagi hatinya yang ketika dulu begitu tulus
Demi agar ia tak jadi seorang manusia yang ingkar janji.
Beranda Sanggar Pelangi, 2015.
Basah sudah baju ini karena keringat yang bercucuran
Seperti tak ingin berhenti mengalir dengan hawa yang menguap
Disebabkan panas yang amat luar biasa menyengat
Yang tidak hanya badan saja dibuatnya sampai mencurahkan keringat
Tapi alam pun ikut layu bersama dengan air yang mengering
Diikuti pula oleh pikiran yang tidak lagi mudah untuk berbicara
Hanya dibalut rasa marah dengan ingin bermusuhan pada siapa saja.
Beranda Sanggar Pelangi, 2016.
Diufuk Barat
Terjaga diri ini saat matahari melipat malam dan menggantinya jadi pagi
Disambut riang oleh riuh suara ayam jantan yang terjaga pertama
Bersama dengan itu lapang pikiran dinuansakan pada senyum yang tak putus
Untuk menyambut pagi dikala fajar itu bernyanyi diufuk timur
Hingga siapapun tak ingin melewatkannya dengan sibuk untuk berkreativitas
Agar tidak ada yang jenuh apalagi sampai merenung kesepian
Sampai nafas lega terhembus kala sang fajar itu menyudahi nyanyi yang merdu
Ketika ia tersenyum pada sesiapa pun yang menikmati harinya
Sebelum ditutup oleh tirai pertunjukan diufuk barat berwarna kuning terang.
Beranda Sanggar Pelangi, 2016.
Malangnya Anak-Anak Itu
Jalan yang entah kapan sunyinya
Begitu ramai diisi oleh mesin berjalan dan yang berlalu lalang
Disisipi oleh tawa-tawa mungil yang saling berlarian di jalan itu
Mereka itu adalah anak-anak yang menjajakan apa saja kepada siapa saja di jalan
Dengan wajah lusuh yang penuh debu dan baju yang serba longgar
Tanpa peduli lagi pada rasa aman yang sudah hampir lepas dari raganya
Untuk mengutip tiap keping uang receh dari yang kasian melihat mereka
Hanya untuk biar besok masih ada yang bisa disantap sebagai pengganjal perut
Karena sudah tidak ada lagi yang sanggup menghidupi anak-anak itu
Dari dunia yang teramat keras sekali bagi mereka.
Beranda Sanggar Pelangi, 2016.
Sembako Murah
Rakyat-rakyat yang hidup dalam kemelaratan
Dihimpit dalam gundahnya untuk membeli sembako yang kian mahal
Sembako itu dibutuhkan untuk menyenyakkan bayi dan anak-anak yang tersentak dari laparnya.
Telah banyak yang diperbuat untuk membelinya dengan kerja yang memeras darahnya
Tapi tak jua cukup untuk membeli sembako itu
Karena harganya yang mahal membuat mereka tak sanggup membeli semuanya.
Beranda Sanggar Pelangi, 2015.
Setetes Air
Air yang tumpah ruah di tanah pertiwi ini
Seakan menunjukkan betapa suburnya negeri ini untuk menghidupi kami semua
Saat dipikir tentang air yang melimpah mungkin tak ada yang mati kehausan
Atau juga luntang-lantang mencari air hingga ke bawah batu
Tapi nyatanya itu yang tak mungkin sekarang jadi mungkin terjadi
Tentang mahalnya sudah harga air bagi tanah pertiwi yang melimpah air
Entah siapa yang memonopoli atau tangan kami yang telah mencemari air itu
Dan sekarang setetes air sangat berarti untuk kami melanjutkan hidup.
Beranda Sanggar Pelangi, 2015.
Tangisan yang Tak Pernah Kering
Diucapkan satu patah kata dengan sendu yang terbata
Dari seorang manusia yang hatinya sedang pilu merana
Bukan karena dikhianati oleh kekasih atau sahabatnya
Tapi ia begitu kecewa pada yang dipilihnya untuk mengayominya
Kecewa karena ia telah lupa dengan janjinya dan membiarkan seorang manusia itu merana
Dan dalam sedihnya seorang manusia terus menangis memohon kepada Tuhan
Untuk membuka lagi hatinya yang ketika dulu begitu tulus
Demi agar ia tak jadi seorang manusia yang ingkar janji.
Beranda Sanggar Pelangi, 2015.
0 komentar:
Post a Comment