Hampir Mati
Saat malam yang pekat membelenggu
Tersandar orang-orang di halaman ruko yang kosong
Untuk beristirahat menghabiskan sisa malam yang panjang
Dengan lelahnya ia coba rebahkan tubuhnya di atas batu yang dingin
Sembari dihimpit rasa lapar yang membuat air mata berlinang di wajahnya
Yang menunjukkan ia hampir saja mati digilas hidup ini.
Beranda Sanggar Pelangi, 2015.
Di depan Pintu
Pergi melangkah dengan rasa yang berat hati
Saat sejenak berpaling ada sesosok yang sedang berdiri di depan pintu
Sesosok itu tidak berkata hanya tersenyum dengan melembaikan tangan
Dan ia akan terus berdiri di depan pintu untuk orang yang pergi melangkah
Agar suatu saat ia kembali tak perlu harus mengetok pintu
Karena telah ada yang menunggu di depan pintu.
Beranda Sanggar Pelangi, 2015.
Awan Mendung
Takut melihat awan yang menggeliat menjadi mendung
Takut bukan karena awan itu akan menurunkan petir yang membakar apa saja
Tapi takut bila awan itu sampai meneteskan air tanpa henti ke tanah ini
Yang dapat membuat banjir sampai siapapun tak akan mengurasnya
Karena selokan dan sungai di tanah ini sudah dihimpit dengan sampah
Hingga tak satupun yang lewat dapat mengalir lagi.
Beranda Sanggar Pelangi, 2015.
Sengsara
Dalam kekayaan alam yang tak terhitung nilainya
Dihadiahi untuk bisa menafkahi semua orang yang ada
Yang berisikan jutaan hutan, emas, ikan, dan satwanya
Akan tetapi banyak orang-orang yang tak juga bisa sejahtera
Dan hidup dalam kesengsaraan yang bekepanjangan
Karena kekayaan itu hanya sibuk untuk diperebutkan
Hingga membuat yang lain harus sabar menunggu yang entah sampai kapan.
Beranda Sanggar Pelangi, 2015.
Hilangkah Engkau?
Lama dikau tak lagi ada dalam pandangan nyata
Seperti biasa saat mata mampu tak berkedip melihat mu
Seperti itu pula kala jemari-jemari tak mau berhenti mengisahkan tentang mu
Dikau yang hidup dalam kata ‘nafas’ bagi diri ini
Abadi untuk diingat selama tanah masih ada yang memijak
Tapi bersembunyi dimanakah dikau?
Dibalik yang berbayang hitam telah disibakkan
Hanya tampak cahaya putih yang mengisi bayang itu
Sulit untuk menemukan engkau yang sangat berarti
Yang hilang begitu saja tanpa suara perpisahan.
Beranda Sanggar Pelangi, 2016.
Dirobek
Berat isi kata yang ada disurat itu
Sampai mata mengeluarkan air yang tak kuasa menahannya
Tangan pun ikut menggeletar hendak meletakkan surat itu kembali
Bibirpun seperti disulam rapat tanpa suara yang bisa dikeluarkan
Melukiskan wajah tampak seperti perahu yang diombang ambingkan badai
Sampai akhirnya tak lagi kuat membaca kata-kata diakhir surat itu
Sudah dirobek berkeping-keping
Mirip hancurnya bongkahan batu besar itu dipalu ribuan kali.
Beranda Sanggar Pelangi, 2016.
Saat malam yang pekat membelenggu
Tersandar orang-orang di halaman ruko yang kosong
Untuk beristirahat menghabiskan sisa malam yang panjang
Dengan lelahnya ia coba rebahkan tubuhnya di atas batu yang dingin
Sembari dihimpit rasa lapar yang membuat air mata berlinang di wajahnya
Yang menunjukkan ia hampir saja mati digilas hidup ini.
Beranda Sanggar Pelangi, 2015.
Di depan Pintu
Pergi melangkah dengan rasa yang berat hati
Saat sejenak berpaling ada sesosok yang sedang berdiri di depan pintu
Sesosok itu tidak berkata hanya tersenyum dengan melembaikan tangan
Dan ia akan terus berdiri di depan pintu untuk orang yang pergi melangkah
Agar suatu saat ia kembali tak perlu harus mengetok pintu
Karena telah ada yang menunggu di depan pintu.
Beranda Sanggar Pelangi, 2015.
Awan Mendung
Takut melihat awan yang menggeliat menjadi mendung
Takut bukan karena awan itu akan menurunkan petir yang membakar apa saja
Tapi takut bila awan itu sampai meneteskan air tanpa henti ke tanah ini
Yang dapat membuat banjir sampai siapapun tak akan mengurasnya
Karena selokan dan sungai di tanah ini sudah dihimpit dengan sampah
Hingga tak satupun yang lewat dapat mengalir lagi.
Beranda Sanggar Pelangi, 2015.
Sengsara
Dalam kekayaan alam yang tak terhitung nilainya
Dihadiahi untuk bisa menafkahi semua orang yang ada
Yang berisikan jutaan hutan, emas, ikan, dan satwanya
Akan tetapi banyak orang-orang yang tak juga bisa sejahtera
Dan hidup dalam kesengsaraan yang bekepanjangan
Karena kekayaan itu hanya sibuk untuk diperebutkan
Hingga membuat yang lain harus sabar menunggu yang entah sampai kapan.
Beranda Sanggar Pelangi, 2015.
Hilangkah Engkau?
Lama dikau tak lagi ada dalam pandangan nyata
Seperti biasa saat mata mampu tak berkedip melihat mu
Seperti itu pula kala jemari-jemari tak mau berhenti mengisahkan tentang mu
Dikau yang hidup dalam kata ‘nafas’ bagi diri ini
Abadi untuk diingat selama tanah masih ada yang memijak
Tapi bersembunyi dimanakah dikau?
Dibalik yang berbayang hitam telah disibakkan
Hanya tampak cahaya putih yang mengisi bayang itu
Sulit untuk menemukan engkau yang sangat berarti
Yang hilang begitu saja tanpa suara perpisahan.
Beranda Sanggar Pelangi, 2016.
Dirobek
Berat isi kata yang ada disurat itu
Sampai mata mengeluarkan air yang tak kuasa menahannya
Tangan pun ikut menggeletar hendak meletakkan surat itu kembali
Bibirpun seperti disulam rapat tanpa suara yang bisa dikeluarkan
Melukiskan wajah tampak seperti perahu yang diombang ambingkan badai
Sampai akhirnya tak lagi kuat membaca kata-kata diakhir surat itu
Sudah dirobek berkeping-keping
Mirip hancurnya bongkahan batu besar itu dipalu ribuan kali.
Beranda Sanggar Pelangi, 2016.
0 komentar:
Post a Comment