Tak Tergenggam
Sudah berulang kali tangan ini menggenggamnya
Tapi selalu saja terlepas begitu saja
Setiap kali tangan coba erat mencengkramnya
Ia pun memilih jatuh lagi dengan suara dentingan yang lembut
Ada hasrat yang amat kuat untuk bisa membawanya pulang
Ingin dipajang agar selalu bisa memandanginya
Sambil menyunggingkan senyum yang rapuh
Dan sepertinya ia tak hendak bersama genggaman tangan ini
Memilih diam disitu dengan gaya membatu.
Beranda Sanggar Pelangi, 2016.
Kicauan Burung
Pagi masih buta yang diselimuti sisa malam
Sudah terdengar kicauan burung dari balik ranting pohon
Bersahutan yang entah apa dipercakapan mereka
Tiada satupun yang hendak mengalah agar diam
Walau suara ayam menimpali sekalipun burung itu masih saja berkicau
Mungkin saja anaknya hilang atau sangkarnya rusak
Tapi kicauannya itu sudah mengganggu tidur yang masih dihimpit rasa nyenyak.
Beranda Sanggar Pelangi, 2016.
Terabaikan
Dalam kerumunan orang yang lalu lalang
Sibuk menunduk melihat tarian kata dalam gadget digenggamnya
Ada seorang peminta yang berjalan sambil membungkuk
Dan berkata: “Bagi sedekahnya”
Tapi tiada satu daun telinga pun yang membukakan pintu ucapan itu masuk
Diucapkan peminta itu sampai sore diam membisu
Tetap plasik kresek untuk menambung recehan tanpa bunyi
Seperti ia sedang berada di tengah-tengah kuburan
Ramai tapi tak satu makam pun sedia bangkit menjumpainya.
Beranda Sanggar Pelangi, 2016
Dibawa Hanyut
Deras deru suara pedih keluar dari mulut yang sengsara
Berteduh dalam peratapan duka yang dihujani dengan rasa luka
Bergema bibirnya tak satupun ucapan ada yang keluar
Dengan mimik yang juga tak memiliki setetespun air mata
Meringkuk dalam gelap menuggu banjir kesunyian segera membawanya
Hanyut dalam hidup yang hampa dari makna.
Beranda Sanggar Pelangi, 2016.
Suara Siapa Itu?
Mencari dalam mata yang diselumti gelap
Cahaya jalan tiada lagi mampu menuntun jalan
Berjalan berangkak dengan tangan mengecap dinginnya tanah
Tapi ada yang bersuara sayup seperti berbisik
Lebar-lebar daun telinga membuka pintu agar suara itu terdengar
Sebagai pemandu untuk melewati lorong gulita ini
Sambil guratan hatipun ikut bertanya pada suara yang menuntun
Suara Siapa itu?
Terucap dari bibir yang lama dikatub amarah.
Beranda Sanggar Pelangi, 2016.
Tersenyumlah
Getirnya hidup ini telah memenjarakan kebahagiannya
Hari-hari yang dilewati hanya disapa dinginnya raut wajah
Seperti orang yang lupa dengan caranya tersenyum
Hilangnya senyuman yang dulu selalu terpancar dari sosoknya
Raib bersama mendung awan hitam di langit yang tak tergapai
Hingga membuat dirinya seakan tersiksa
Setiap kali melewati detik-detik hdupnya
Tolonglah, tersenyum lagi.
Beranda Sanggar Pelangi, 2016.
Pelukan Mu
Pelukan mu mendamaikan hati yang gelisah
Yang tak mengerti hendak mengarah kemana
Kalut dan amarah menjadi raja di jiwa ini
Dan keputusasaan memberikan wejangan menyedihkan
Engkau ada tanpa rasa sedikitpun takut
Ceria dengan sapaan tangan yang langsung
Mendekap diri ini dalam pelukan mu
Yang telah dirindukan.
Beranda Sanggar Pelangi, 2016.
Sudah berulang kali tangan ini menggenggamnya
Tapi selalu saja terlepas begitu saja
Setiap kali tangan coba erat mencengkramnya
Ia pun memilih jatuh lagi dengan suara dentingan yang lembut
Ada hasrat yang amat kuat untuk bisa membawanya pulang
Ingin dipajang agar selalu bisa memandanginya
Sambil menyunggingkan senyum yang rapuh
Dan sepertinya ia tak hendak bersama genggaman tangan ini
Memilih diam disitu dengan gaya membatu.
Beranda Sanggar Pelangi, 2016.
Kicauan Burung
Pagi masih buta yang diselimuti sisa malam
Sudah terdengar kicauan burung dari balik ranting pohon
Bersahutan yang entah apa dipercakapan mereka
Tiada satupun yang hendak mengalah agar diam
Walau suara ayam menimpali sekalipun burung itu masih saja berkicau
Mungkin saja anaknya hilang atau sangkarnya rusak
Tapi kicauannya itu sudah mengganggu tidur yang masih dihimpit rasa nyenyak.
Beranda Sanggar Pelangi, 2016.
Terabaikan
Dalam kerumunan orang yang lalu lalang
Sibuk menunduk melihat tarian kata dalam gadget digenggamnya
Ada seorang peminta yang berjalan sambil membungkuk
Dan berkata: “Bagi sedekahnya”
Tapi tiada satu daun telinga pun yang membukakan pintu ucapan itu masuk
Diucapkan peminta itu sampai sore diam membisu
Tetap plasik kresek untuk menambung recehan tanpa bunyi
Seperti ia sedang berada di tengah-tengah kuburan
Ramai tapi tak satu makam pun sedia bangkit menjumpainya.
Beranda Sanggar Pelangi, 2016
Dibawa Hanyut
Deras deru suara pedih keluar dari mulut yang sengsara
Berteduh dalam peratapan duka yang dihujani dengan rasa luka
Bergema bibirnya tak satupun ucapan ada yang keluar
Dengan mimik yang juga tak memiliki setetespun air mata
Meringkuk dalam gelap menuggu banjir kesunyian segera membawanya
Hanyut dalam hidup yang hampa dari makna.
Beranda Sanggar Pelangi, 2016.
Suara Siapa Itu?
Mencari dalam mata yang diselumti gelap
Cahaya jalan tiada lagi mampu menuntun jalan
Berjalan berangkak dengan tangan mengecap dinginnya tanah
Tapi ada yang bersuara sayup seperti berbisik
Lebar-lebar daun telinga membuka pintu agar suara itu terdengar
Sebagai pemandu untuk melewati lorong gulita ini
Sambil guratan hatipun ikut bertanya pada suara yang menuntun
Suara Siapa itu?
Terucap dari bibir yang lama dikatub amarah.
Beranda Sanggar Pelangi, 2016.
Tersenyumlah
Getirnya hidup ini telah memenjarakan kebahagiannya
Hari-hari yang dilewati hanya disapa dinginnya raut wajah
Seperti orang yang lupa dengan caranya tersenyum
Hilangnya senyuman yang dulu selalu terpancar dari sosoknya
Raib bersama mendung awan hitam di langit yang tak tergapai
Hingga membuat dirinya seakan tersiksa
Setiap kali melewati detik-detik hdupnya
Tolonglah, tersenyum lagi.
Beranda Sanggar Pelangi, 2016.
Pelukan Mu
Pelukan mu mendamaikan hati yang gelisah
Yang tak mengerti hendak mengarah kemana
Kalut dan amarah menjadi raja di jiwa ini
Dan keputusasaan memberikan wejangan menyedihkan
Engkau ada tanpa rasa sedikitpun takut
Ceria dengan sapaan tangan yang langsung
Mendekap diri ini dalam pelukan mu
Yang telah dirindukan.
Beranda Sanggar Pelangi, 2016.
0 komentar:
Post a Comment