Indonesia adalah negara yang kaya dengan melimpah ruahnya berbagai jenis kekayaan alam, satwa, dan sumber daya lainnya untuk dimanfaatkan bagi kemakmuran penduduknya. Tapi melihat realita yang terjadi di sekitar kita banyak keganjilan-keganjilan dari pemanfaatan sumber daya tersebut yang tidak seluruhnya dirasakan oleh masyarakat di Indonesia. Salah satunya ialah anak-anak jalanan yang tidak mendapatkan pendidikan.
Sebagaimana dituliskan oleh okezone.com bahwa total anak jalanan di Indonesia mencapai 4,5 juta jiwa atau sekitar 1,8 % dari total penduduk Indonesia (18/1). Dan hampir dari keseluruhan total anak jalanan tersebut seringkali berkeliaran di perempatan lampu merah di jalanan ibu kota. Kegiatan-kegiatan yang sering dilakukan anak jalan di perempatan jalan tersebut adalah mengamen dan mengemin dengan meminta belas kasihan kepada warga yang berhenti di perempatan lampu lalu lintas. Dan ini dilakoni mereka mulai dari pagi menyingsing sampai sore hari. Bahkan saat malam pun tiba mereka yang anak jalanan sering tampak terlihat di pusat-pusat keramaian yang biasanya diadakan di lapangan ibu kota.
Miris dikatakan bahwa kegiliat pesatnya majunya metode pendidikan yang dirancang oleh pemerintah dengan anggaran yang dikeluarkan yang tidak sedikit tetap jalanan Indonesia di hiasi oleh wajah-wajah mungil anak-anak jalanan. Mendiskusikan mengenai nasib pendidikan anak-anak jalanan sering kali membuat kita harus bertanya-tanya tentang keseriusan berbagai pihak untuk mengentaskan kemiskinan dan mengayomi pendidikan untuk semua warga negara termasuk anak-anak jalanan. Hampir sebagian dari anak-anak jalanan yang menghuni jalanan ibu kota bekerja mencari uang mulai dari pagi sampai malam dan sangat tidak mungkin mereka sempat sekolah atau mendapatkan pendidikan dari lembaga formal atau non-formal. Sehingga tahun-tahun yang mereka lalui hanya dihabiskan di jalanan saja jika tidak mendapatkan perhatian dari berbagai pihak terutama pemerintah yang serius menangani membludaknya total anak-anak jalanan.
Bermunculannya anak-anak jalanan yang sering terlihat di perempatan lampu lalu lintas sebabnya dari berbagai faktor tapi utamanya adalah kemiskinan yang melanda keluarga dan minimnya pendidikan yang diterima oleh keluarga. Para keluarga yang didera kemiskinan membuat mereka sulit untuk menyekolahkan anak-anaknya yang terkadang jumlahnya lebih satu sehingga anak-anak yang seharusnya letaknya di sekolah untuk menimba ilmu harus menghentikan mimpinya dengan ikut mencari nafkah di jalanan ibu kota. Pemandangan ini tentu bukan sesuatu yang baru bagi kita lagi dimana jumlah yang terus bertambah setiap tahunnya menunjukkan akan kerapuhan dari dunia pendidikan yang dibangun untuk mensejahterahkan rakyat.
Tempatkan anak-anak di sekolah
Idealnya usia 6 sampai 19 tahun adalah masa-masa sekolah yang wajib diterima oleh semua anak di Indonesia yakni mulai dari masa SD, SMP, dan SMA. Dimana total anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah yang dikutip dari website setkab.co.id mengeluarkan informasi bahwa pada tahun 2013 anggaran yang dikucurkan untuk dunia pendidikan adalah Rp. 345,335 trilliun. Sedangkan pada tahun 2014 ini pemerintah kembali mengganggarkan dana untuk mempercepat laju pendidikan sekitar Rp 368 trilliun. Besarnya anggaran dana yang dikucurkan pemerintah setiap tahunnya yang sekitar 20 persen dari total APBN Indonesia seharusnya dapat mengikis jumlah anak-anak yang berkeluyuran di jalanan untuk mencari makan.
Anak-anak jalanan yang hidup di jalanan sejatinya bukanlah itu yang mereka inginkan tapi kemiskinan yang melanda kehidupan keluarga menjadikan hidup dijalanan sebagai pengamen, pengemis, dan pengasong adalah pilihan terakhir yang bisa ditempuh. Sehingga dengan melihat kegigihan mereka yang harus beradu cepat dengan lampu-lampu merah untuk meraup uang terbukti bahwa mereka mempunyai cita-cita yang tinggi yang harus dilihat oleh pemerintah.
Mengupayakan total anggaran yang jumlahnya mencapai Rp. 368 trilliun tersebut digunakan sepenuhnya untuk mensukseskan pendidikan bagi anak-anak yang putus atau tak sempat bersekolah akan menjadikan dikemudian hari total anak-anak bangsa yang berperstasi jumlah akan kian meningkat. Dan dengan menempatkan kembali mereka ke sekolah dengan diberikan subsidi berupa beasiswa pendidikan penuh maka total anak-anak jalanan yang hidup mencari nafkah di jalanan akan berkurang dari waktu ke waktu.
Padahal jika diberikan pendidikan kepada mereka anak-anak jalanan dengan mampu mengolah dan mengarahkan serta membina mereka maka cita-cita yang diimpikan akan tercapat dan menambah kualitas SDM Indonesia yang berkompeten dan profesional. Sebab sebaik apapun metode yang ditawarkan pemerintah bagi semua rakyat Indonesia tetapi gagal dalam menyelamatkan anak-anak jalanan maka semua itu bisa menjadi sia-sia. Karena SDM-SDM yang tumbuh nantinya sulit bersaing dalam mencari kerja dan mendirikan bisnis sebab anak-anak jalanan yang tumbuh tanpa diberikan pendidikan sulit untuk menemukan potensinya sendiri.
Semuanya Berhak Sekolah
Dalam UUD 1945 pada pasal 31 ayat 1 tertulis bahwa ‘setiap warga negara berhak mendapat pendidikan’. Yang artinya semua rakyat baik yang kaya ataupun miskin harus mendapatkan pendidikan yang ditanggung oleh negara. Sehingga bermunculannya anak-anak jalanan yang tumbuh berkembang jumlahnya di jalanan ibu kota sudah menjadi tugas negara secara bersama-sama mengupayakan anak-anak jalanan tersebut untuk diberikan pendidikan dan jangan melupakannnya.
Berdirinya banyak rumah singgah yang bisa ditemui di sudut-sudut ibu kota menunjukkan arti kepedulian oleh berbagai pihak yang ingin memberikan pendidikan yang layak kepada anak-anak jalanan yang putus sekolah. Tujuan mulia ini tidak pernah sekalipun memungut biaya kepada anak-anak jalanan yang singgah untuk belajar ke rumah singgah. Dengan terciptanya rumah singga menjadi sebuah jembatan bagi anak-anak jalanan yang putus sekolah untuk mudah mendapatkan pendidikan dari lembaga non-formal secara gratis.
Dengan berdirinya berbagai rumah singgah yang mempercepat proses pendidikan agar bisa dirasakan oleh semua anak-anak sejatinya menjadi pelajaran bagi pemerintah agar lebih serius dalam pembenahan dunia pendidikan yang timpang tindih dalam mekanisme penjalanannya. Terutama maraknya geliat korupsi di dunia pendidikan yang diindikasikan total kerugian negara mencapai Rp. 619 miliar sehingga menjadi pemicu macetnya penyaluran dana untuk dunia pendidikan bagi para seluruh rakyat Indonesia. Korupsi yang sering terjadi di dunia pendidikan lambat laun jika tidak diberantas maka dampaknya akan menambah parah jumlah anak-anak yang putus sekolah dan memutuskan harapan bagi anak-anak yang ingin memasuki dunia pendidikan sebab alasannya mahalnya biaya sekolah untuk membeli pakaian seragam, buku sekolah dan lain-lain.
Sedari itu lah menimbulkan kesadaran pada kita bahwa siapapun berhak untuk mendapatkan pendidikan. Dan tidak ada alasan yang boleh menghalangi siapapun untuk menempuh pendidikan. Oleh karena itu, penulis berdoa semoga Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap tanggal 2 Mei akan meningkatkan mutu pendidikan kita terutama menjangkau anak-anak jalanan yang butuh akan dunia pendidikan agar diperhatikan oleh negara.
Oleh: Satria Dwi Saputro
(Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Ekonomi Islam Semester IV, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, IAIN-SU)
Sebagaimana dituliskan oleh okezone.com bahwa total anak jalanan di Indonesia mencapai 4,5 juta jiwa atau sekitar 1,8 % dari total penduduk Indonesia (18/1). Dan hampir dari keseluruhan total anak jalanan tersebut seringkali berkeliaran di perempatan lampu merah di jalanan ibu kota. Kegiatan-kegiatan yang sering dilakukan anak jalan di perempatan jalan tersebut adalah mengamen dan mengemin dengan meminta belas kasihan kepada warga yang berhenti di perempatan lampu lalu lintas. Dan ini dilakoni mereka mulai dari pagi menyingsing sampai sore hari. Bahkan saat malam pun tiba mereka yang anak jalanan sering tampak terlihat di pusat-pusat keramaian yang biasanya diadakan di lapangan ibu kota.
Miris dikatakan bahwa kegiliat pesatnya majunya metode pendidikan yang dirancang oleh pemerintah dengan anggaran yang dikeluarkan yang tidak sedikit tetap jalanan Indonesia di hiasi oleh wajah-wajah mungil anak-anak jalanan. Mendiskusikan mengenai nasib pendidikan anak-anak jalanan sering kali membuat kita harus bertanya-tanya tentang keseriusan berbagai pihak untuk mengentaskan kemiskinan dan mengayomi pendidikan untuk semua warga negara termasuk anak-anak jalanan. Hampir sebagian dari anak-anak jalanan yang menghuni jalanan ibu kota bekerja mencari uang mulai dari pagi sampai malam dan sangat tidak mungkin mereka sempat sekolah atau mendapatkan pendidikan dari lembaga formal atau non-formal. Sehingga tahun-tahun yang mereka lalui hanya dihabiskan di jalanan saja jika tidak mendapatkan perhatian dari berbagai pihak terutama pemerintah yang serius menangani membludaknya total anak-anak jalanan.
Bermunculannya anak-anak jalanan yang sering terlihat di perempatan lampu lalu lintas sebabnya dari berbagai faktor tapi utamanya adalah kemiskinan yang melanda keluarga dan minimnya pendidikan yang diterima oleh keluarga. Para keluarga yang didera kemiskinan membuat mereka sulit untuk menyekolahkan anak-anaknya yang terkadang jumlahnya lebih satu sehingga anak-anak yang seharusnya letaknya di sekolah untuk menimba ilmu harus menghentikan mimpinya dengan ikut mencari nafkah di jalanan ibu kota. Pemandangan ini tentu bukan sesuatu yang baru bagi kita lagi dimana jumlah yang terus bertambah setiap tahunnya menunjukkan akan kerapuhan dari dunia pendidikan yang dibangun untuk mensejahterahkan rakyat.
Tempatkan anak-anak di sekolah
Idealnya usia 6 sampai 19 tahun adalah masa-masa sekolah yang wajib diterima oleh semua anak di Indonesia yakni mulai dari masa SD, SMP, dan SMA. Dimana total anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah yang dikutip dari website setkab.co.id mengeluarkan informasi bahwa pada tahun 2013 anggaran yang dikucurkan untuk dunia pendidikan adalah Rp. 345,335 trilliun. Sedangkan pada tahun 2014 ini pemerintah kembali mengganggarkan dana untuk mempercepat laju pendidikan sekitar Rp 368 trilliun. Besarnya anggaran dana yang dikucurkan pemerintah setiap tahunnya yang sekitar 20 persen dari total APBN Indonesia seharusnya dapat mengikis jumlah anak-anak yang berkeluyuran di jalanan untuk mencari makan.
Anak-anak jalanan yang hidup di jalanan sejatinya bukanlah itu yang mereka inginkan tapi kemiskinan yang melanda kehidupan keluarga menjadikan hidup dijalanan sebagai pengamen, pengemis, dan pengasong adalah pilihan terakhir yang bisa ditempuh. Sehingga dengan melihat kegigihan mereka yang harus beradu cepat dengan lampu-lampu merah untuk meraup uang terbukti bahwa mereka mempunyai cita-cita yang tinggi yang harus dilihat oleh pemerintah.
Mengupayakan total anggaran yang jumlahnya mencapai Rp. 368 trilliun tersebut digunakan sepenuhnya untuk mensukseskan pendidikan bagi anak-anak yang putus atau tak sempat bersekolah akan menjadikan dikemudian hari total anak-anak bangsa yang berperstasi jumlah akan kian meningkat. Dan dengan menempatkan kembali mereka ke sekolah dengan diberikan subsidi berupa beasiswa pendidikan penuh maka total anak-anak jalanan yang hidup mencari nafkah di jalanan akan berkurang dari waktu ke waktu.
Padahal jika diberikan pendidikan kepada mereka anak-anak jalanan dengan mampu mengolah dan mengarahkan serta membina mereka maka cita-cita yang diimpikan akan tercapat dan menambah kualitas SDM Indonesia yang berkompeten dan profesional. Sebab sebaik apapun metode yang ditawarkan pemerintah bagi semua rakyat Indonesia tetapi gagal dalam menyelamatkan anak-anak jalanan maka semua itu bisa menjadi sia-sia. Karena SDM-SDM yang tumbuh nantinya sulit bersaing dalam mencari kerja dan mendirikan bisnis sebab anak-anak jalanan yang tumbuh tanpa diberikan pendidikan sulit untuk menemukan potensinya sendiri.
Semuanya Berhak Sekolah
Dalam UUD 1945 pada pasal 31 ayat 1 tertulis bahwa ‘setiap warga negara berhak mendapat pendidikan’. Yang artinya semua rakyat baik yang kaya ataupun miskin harus mendapatkan pendidikan yang ditanggung oleh negara. Sehingga bermunculannya anak-anak jalanan yang tumbuh berkembang jumlahnya di jalanan ibu kota sudah menjadi tugas negara secara bersama-sama mengupayakan anak-anak jalanan tersebut untuk diberikan pendidikan dan jangan melupakannnya.
Berdirinya banyak rumah singgah yang bisa ditemui di sudut-sudut ibu kota menunjukkan arti kepedulian oleh berbagai pihak yang ingin memberikan pendidikan yang layak kepada anak-anak jalanan yang putus sekolah. Tujuan mulia ini tidak pernah sekalipun memungut biaya kepada anak-anak jalanan yang singgah untuk belajar ke rumah singgah. Dengan terciptanya rumah singga menjadi sebuah jembatan bagi anak-anak jalanan yang putus sekolah untuk mudah mendapatkan pendidikan dari lembaga non-formal secara gratis.
Dengan berdirinya berbagai rumah singgah yang mempercepat proses pendidikan agar bisa dirasakan oleh semua anak-anak sejatinya menjadi pelajaran bagi pemerintah agar lebih serius dalam pembenahan dunia pendidikan yang timpang tindih dalam mekanisme penjalanannya. Terutama maraknya geliat korupsi di dunia pendidikan yang diindikasikan total kerugian negara mencapai Rp. 619 miliar sehingga menjadi pemicu macetnya penyaluran dana untuk dunia pendidikan bagi para seluruh rakyat Indonesia. Korupsi yang sering terjadi di dunia pendidikan lambat laun jika tidak diberantas maka dampaknya akan menambah parah jumlah anak-anak yang putus sekolah dan memutuskan harapan bagi anak-anak yang ingin memasuki dunia pendidikan sebab alasannya mahalnya biaya sekolah untuk membeli pakaian seragam, buku sekolah dan lain-lain.
Sedari itu lah menimbulkan kesadaran pada kita bahwa siapapun berhak untuk mendapatkan pendidikan. Dan tidak ada alasan yang boleh menghalangi siapapun untuk menempuh pendidikan. Oleh karena itu, penulis berdoa semoga Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap tanggal 2 Mei akan meningkatkan mutu pendidikan kita terutama menjangkau anak-anak jalanan yang butuh akan dunia pendidikan agar diperhatikan oleh negara.
Oleh: Satria Dwi Saputro
(Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Ekonomi Islam Semester IV, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, IAIN-SU)
0 komentar:
Post a Comment